Oleh: H. Dasrimin
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu proses transformasi pengetahuan, sikap, kepercayaan, ketrampilan dan aspek-aspek perilaku lainnya dari generasi ke generasi berikutnya. Mengingat pendidikan sebagai suatu modal yang sangat penting, maka pendidikan harus diselenggarakan dengan sistem yang baik dan bermutu, sebagaimana secara tegas telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 4 ayat 1, yakni “pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna”.
Kesadaran tentang pentingnya pendidikan yang dapat memberikan harapan dan kemungkinan lebih baik di masa yang akan datang, mendorong berbagai upaya dan perhatian seluruh lapisan masyaraat. Dengan demikian partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan sangat diperlukan. Masyarakat adalah kumpulan individu dan kelompok yang diikat dalam kesatuan negara, kebudayaan, dan agama yang memiliki cita-cita, peraturan-peraturann dan sistem kekuasaan tertentu. Sedangkan partisipasi masyarakat merupakan keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi program pembangunan.
Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dapat berupa sumbangan tenaga, dana, dan pikiran serta bentuk-bentuk peran serta lainnya. Selama ini penyelennggaraan partisipasi masyarakat di Indonesia terbatas pada keikutsertaan anggota masyarakat dalam implementasi atau penerapan program-program pendidikan. Hal ini dipahami sebagai upaya mobilisasi untuk kepentingan pemerintah dan negara. Dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari kebijakan pemerintah namun harus dapat mewakili masyrakat itu sendiri dengan kepentingan mereka. Maka masyarakat sendiri perlu dilibatkan dalam pengambilan kebijakan, bukan hanya sebagai pelaksana kebijakan yang telah diputuskan. Masyarakat perlu dilibatkan dalam memberikan gagasan, kritik membangun, dukungan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian partisipasi masyarakat lokal dalam pembuatan kebijakan pendidikan?
2. Mengapa diperlukan partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan?
3. Apa batasan partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan?
4. Apakah ada faktor penghambat dan bagaimana upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan?
5. Bagaimana masa depan partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengetian partisipasi masyarakat lokal dalam pembuatan kebijakan pendidikan.
2. Untuk mengetahui mengapa diperlukan partisipasi masyarakat lokal dalam pembuatan kebijakan pendidikan.
3. Untuk mengetahui batasan partisipasi masyarakat lokal dalam pembuatan kebijakan pendidikan.
4. Untuk mengetahui faktor penghambat dan upaya meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pembuatan kebijakan pendidikan.
5. Untuk mengetahui bagaimana masa depan partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pembuatan Kebijakan Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) partisipasi berarti ikut serta dalam suatu kegiatan, dan masyarakat berarti eksistensi yang hidup, dinamis dan selalu berkembang. Sedangkan menurut Mubyarto (dalam Amransyah, 2012) partisipasi diartikan sebagai kesediaan untuk membantu keberhasilan setiap program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingannya sendiri. Dari beberapa pengertian di atas, dapat diartikan bahwa partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan suatu kelompok dalam membantu terlaksananya keberhasilan suatu program. Dalam hal ini, yang menjadi pusat perhatian adalah keadaan masyarakat lokal dalam membantu mengembangkan kebijakan pendidikan di suatu sekolah.
Pengertian partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan menunjuk kepada pengertian tentang keikutsertaan masyarakat, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi program dan kegiatan. Menurut World Bank (2005) partisipasi masyarakat dalam bidang mendidikan merupakan proses perlibatan masyarakat dalam pelaksanaan fungsi manajemen, mulai dari proses penyusunan rencana prioritas, pembuatan kebijakan, penyusunan alokasi sumber daya, sampai dengan proses pengawasan terhadap pelaksanaan program dan kegiatan pengembangan pendidikan.
Secara entitas, masyarakat itu sangat kompleks dan tak terbatas sehingga sangat sulit bagi lembaga pendidikan (sekolah) untuk berinteraksi dengan masyarakat sebagai pemangku kepentingan. Oleh karena itu masyarakat perlu memiliki lembaga representasi agar sekolah dapat mudah melakukan hubungan dengan masyarakat. Lembaga itu adalah Komite Sekolah (Agung, 2009). Komite Sekolah merupakan wakil dari keluarga dan masyarakat yang dapat menjadi jalan masuk yang tepat agar masyarakat dapat berpartisipasi dan rasa ikut memiliki sistem pendidikan yang berlangsung di satuan pendidikan sekolah yang ada di lingkungan masing-masing (Ace Suryadi, 2004).
B. Pentingnya Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pembuatan Kebijakan Pendidikan
Mutu pendidikan tidak akan berhasil secara maksimal tanpa adanya dukungan dari masyarakat. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan beberapa peran yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, yang diatur dalam pasal 54 Ayat (1) dan (2), yang berbunyi:
(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai nara sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Hal ini tentu sejalan dengan bentuk negara kita sebagai negara demokrasi. Di negara yang menjunjung tinggi demokrasi, diyakini bahwa pemerintahan dibuat dari, oleh dan untuk rakyat. Kebijakan-kebijakan negaranya termasuk kebijakan pendidikannya, sebagai bagian dari perangkat untuk menjalankan pemerintahan di negara tersebut, juga berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 nomor 16 ditegaskan, “Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat”. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dalam kebijakan pendidikan sangatlah penting.
Selain alasan demokrasi, kebijakan pendidikan tersebut secara kongkrit dimaksudkan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyat di bidang pendidikan. Rakyat lebih banyak tahu mengenai masalah mereka sendiri, dan bahkan juga banyak mengetahui bagaimana cara memecahkannya. Maka, keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, justru memperkukuh pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh pelaksana formal. Hal ini didukung dengan dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini memberikan kewenangan semakin besar kepada pemerintah kabupaten/kota, tingkat satuan pendidikan, beserta masyarakat dalam pengelolaan pendidikan dasar yang mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi terhadap satuan pendidikan (Sonhadji, 2013). Selanjutnya Imron (2013) menyatakan, “salah satu esensi regulasi tentang desentralisasi dan otonomi daerah bidang pendidikan adalah pemberian wewenang, peluang dan keleluasan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah dan masyarakat untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan wajib bidang pendidikan”.
Keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan, tidak saja sekedar dipandang sebagai loyalitas rakyat atas pemerintahannya, melainkan yang juga tak kalah penting adalah kebijaksanaan tersebut hendaknya dianggap oleh masyarakat sebagai miliknya. Dengan adanya perasaan memiliki terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan, masyarakat akan semakin banyak sumbangannya dalam pelaksanaan-pelaksanaan kebijaksanaan, termasuk kebijaksanaan pendidikannya.
Secara ideal, partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan harus dimulai dari proses perumusan kebijakan dan rencana sampai dengan pelaksanaan pengawasan dari msyarakat, sehingga anggota masyarakat tidak hanya menjadi obyek dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, tetapi lebih sebagai subyeknya, sebagai agen atau pelaku utama.
Berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan kebijakan publik, keterlibatan warga masyarakat (citizen participation) dalam pengambilan keputusan kebijakan publik sangat penting dan bermanfaat. Irvin (dalam Sufa, 2012), mengemukakan bahwa secara garis besar, manfaat citizen participation dalam pengambilan keputusan (decision making) meliputi dua hal yaitu proses (process) dan hasil (outcomes), baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Manfaat partisipasi masyarakat tersebut dapat digambarkan dalam Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1: Advantages of Citizen Participation In Goverment Decision Making
Decision Process |
Advantages to Citizen participants |
Advantages to goverment |
Education (learn from and inform goverment representatives) Persuade and enlighten goverment Gain skills for a |
Education (learn from and inform citizens) Persuade citizens; build trust and allay anxiety or hostility. Build strategic alliances Gain legitimacy of decisions |
|
Outcomes |
Break grindlock; achieve Outcomes Gain some control over policy process. Better policy and implementation decisions |
Bread gridlock; active Outcomes Avoid litigation costs Better policy and implementation Decisions |
Merujuk pada tabel di atas, Sufa (2012) berpendapat bahwa ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari keterlibatan atau peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan, antara lain: (1) sebagai proses ‘pendidikan’ bagi masyarakat untuk memperoleh kesempatan mengkomunikasikan aspirasinya kepada pemerintah, dan juga memperoleh kesempatan belajar dari pemerintah, (2) memberi peluang kepada masyarakat untuk meyakinkan (persuade and enlighten) pemerintah, dan (3) meningkatkan kemampuan masyarakat dalam berpartisipasi. Di samping keuntungan masyarakat, citizens participation juga memberikan dampak positif bagi pemerintah, antara lain (1) sebagai proses pendidikan dan sekaligus memberikan kesempatan bagi pemerintah dalam mengkomunikasikan aspirasi atau kebijakan-kebijakannya kepada masyarakat, dan juga belajar atau menyerap aspirasi dari masyarakat, (2) memberikan peluang kepada pemerintah untuk meyakinkan, membangun rasa saling percaya, dan mengurangi kerisauan atau keresahan masyarakat, (3) membangun kerja sama dengan masyarakat, dan (4) sebagai wahana untuk memperoleh legitimasi dari masyarakat atas keputusan yang ditetapkan pemerintah.
Walaupun partisipasi masyarakat dalam pembuat keputusan pendidikan memiliki banyak manfaat positif, namun Irvin (dalam Sufa, 2012) juga menemukan beberapa kelemahan yang mungkin timbul karena keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Secara garis besar, beberapa kerugian dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini:
Tabel 2: Disadvantages of Citizen Participation In Goverment Decision Making
Decision Process |
Disadvantages to Citizen participants |
Disadvantages to goverment |
Time consuming (even dull) Pointless if decision is ignored |
Time consuming Costly May backfire, creating more hostility toward goverment |
|
Outcomes |
Worse policy decision if heavily influenced by opposing interest groups |
Loss of decision-making control Possibility of bad decision that is politically impossible to ignore Less budged for implementation of actual projects |
Berdasarkan tabel di atas Sufa (2012), menyimpulkan bahwa keterlibatan masyarakat atau peran serta masyarakat dalam pembuatan kebijakan pendidikan memiliki beberapa kelemahan, antara lain (1) memerlukan waktu yang lebih lama dan sering kali terkesan membuang-buang energi, (2) membutuhan biaya yang relatif lebih banyak, (3) kemungkinan terjadi lepas kendali dalam pengambilan keputusan yang kurang tepat atau kurang sesuai terutama yang berkaitan dengan keputusan-keputusan politis.
Berikut ini adalah salah satu contoh kasus yang menggambarkan tentang partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan pendidikan, berdasarkan hasil penelitian dalam Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Nomor 2, Tahun XII, 2008 Muhammad Munadi 280:
Kebijakan publik bidang pendidikan yang sudah dibuat selama kurun waktu tahun 2005–2006 di Kota Surakarta telah mengupayakan partisipasi masyarakat dalam pembuatannya, tetapi partisipasinya masih mendasarkan pada aturan yang mewajibkannya, yaitu surat keputusan (SK) Walikota dengan nomor 410/45-A/I/2002 dan diperbaiki dengan keputusan Keputusan Walikota No. 3 tahun 2004. Wujud partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik pada alokasi anggaran pendidikan pada APBD mendasarkan pada model bottom up dari mulai Musyawarah rencana membangun kelurahan (musrenbangkel), musyawarah rencana membangun kecamatan (musrenbangcam) dan musyawarah rencana membangun kota (musrenbangkot). Proses ini ditutup dengan public hearing dalam pembahasan APBD dalam bentuk RAPBD sebelum disyahkan.
Meskipun demikian dengan pendekatan yang berbeda DPRD tidak semata-mata percaya atas penyusunan pada mekanisme yang dikembangkan oleh eksekutif, tetapi melalui pendampingan DPRD saat musrenbangkel di tiap tempat tinggalnya. Selain itu mekanisme yang dikembangkan juga melalui pemberian undangan kepada LPMK untuk menghadiri public hearing. Disamping itu pula mekanisme serupa juga dikembangkan oleh para aktivis LSM, disamping mereka terlibat dan mendampingi kelompok pinggiran dalam musrenbangkel sampai musrenbangkot mereka juga terlibat dalam public hearing. Apa yang dilakukan oleh DPRD maupun LSM menguntungkan bagi proses partisipasi yang nyata bagi rakyat. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa masih ada pelembagaan partisipasi. Namun demikian proses ini menunjukkan bahwa kebijakan di Kota Surakarta cenderung semakin terbuka dan partisipatif.
C. Batasan Partisipasi Masyarakat
Partisipasi adalah suatu term yang menunjuk kepada adanya keikutsertaan secara nyata dalam suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat dalam kebijaksanaan pendidikan adalah keikutsertaan masyarakat dalam memberikan gagasan, kritik membangun, dukungan dan pelaksanaan kebijaksanaan pendidikan. Dalam sistem pendidikan yang top down partisipasi masyarakat dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dibuat dan diimplementasikan tidak begitu dipermasalahan; tetapi pada sistem pemerintahan yang bottom up, tingginya partisipasi masyarakat dalam impementasi kebijaksanaan, dapat dijadikan sebagai indikasi sukses tidaknya kebijaksanaan.
Muhajirin (dalam Imron, 2008) menggolongkan partisipasi masyarakat ke dalam tipologinya, ialah partisipasi kuantitatif dan partisipasi kualitatif. Partisipasi kuantitatif menunjuk kepada frekuensi keikutsertaan terhadap implementasi kebijaksanaan, sementara partisipasi kualitatif menunjuk kepada tingkat dan derajatnya.
Koentjoroningrat (dalam Imron, 2008) menggolongkan partisipasi masyarakat berdasarkan posisi individu dalam kelompoknya. Pertama, partisipasi masyarakat dalam aktivitas bersama dalam proyek khusus; kedua, partisipasi anggota masyarakat sebagai individu dalam aktivitas bersama pembangunan.
Miftah Thoha (dalam Imron, 2008) menggolongkan partisipasi masyarakat ke dalam tiga golongan, yaitu: partisipasi mandiri yang merupakan usaha berperan serta yang dilakukan secara mandiri oleh pelakunya, partisipasi mobilisasi, dan partisipasi seremoni.
Secara luas, partisipasi dapat diartikan sebagai demokratisasi politik masyarakat yang menentukan tujuan, strategi dan perwakilannya dalam pelaksanaan kebijaksanaan atau pembangunan. Secara sempit, partisipasi dapat diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan proses perubahan dan pengembangan masyarakat sesuai dengan arti pembangunan sendiri. Sebagai lawan dari kegiatan politik, partisipasi dapat diartikan sebagai golongan-golongan masyarakat yang berbeda-beda kepentingnnya dididik mengajukan secara rasional keinginannya dan menerima sukarela keputusan pembangunan.
D. Faktor-Faktor Penghambat dan Upaya Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Dalam Kebijakan Pendidikan
Selama ini partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional memang sudah nampak berarti, baik dukungan finansial maupun non-finansialnya (akademik, moral, dan sebagainya), baik melalui pendirian lembaga pendidikan formal dan non-formal maupun lembaga lain yang mendukung proses pendidikan nasional. Namun dalam batas tertentu masyarakat masih relatif terbatas memberikan dukungannya dalam bidang bidang pendidikan. Misalnya, kita masih bisa menemukan minimnya partisipasi lembaga industri dan bisnis terhadap keberlangsungan praktek pendidikan nasioal baik yang ada di daerahnya sendiri, maupun daerah lain. Demikian pula kontrol masyarakat yang masih rendah terhadap berbagai hal yang mengkontaminasi nilai-nilai budaya bangsa yang berkembang di masyarakat, seperti semakin meningkatnya penggunaan narkoba oleh kaum remaja.
Masyarakat pada dasarnya cenderung berpartisipasi dalam pembangunan pendidikan, tetapi di sisi lain partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan pendidikan masih terbatas. Hambatan yang dialami sekolah untuk mengajak partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan pendidikan membuktikan bahwa belum sepenuhnya disadari sebagai tanggung jawab bersama. Realitas tersebut menguatkan asumsi bahwa partisipasi tidak mudah diwujudkan, karena ada hambatan yang bersumber dari pemerintah maupun masyarakat.
Dari pihak pemerintah, faktor yang menghambat partisipasi masyarakat dalam pendidikan dapat berupa:
1. Lemahnya komitmen politik para pengambil keputusan di daerah untuk secara sungguh-sungguh melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pelayanan publik.
2. Lemahnya dukungan SDM yang dapat diandalkan untuk mengimplementasikan strategi peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik.
3. Rendahnya kemampuan lembaga legislative dalam mengaktualisasikan kepentingan masyarakat.
4. Lemahnya dukungan anggaran, karena kegiatan pasrtisipasi public seringkali hanya dilihat sebagai proyek, maka pemerintah tidak menjalankan danah secara berkelanjutan.
Sedangkan dari pihak masyarakat, faktor penghambat partisipasi dalam pendidikan muncul karena beberapa hal antara lain:
1. Apatisme, karena selama ini masyarakat jarang dilibatkan dalam pembuatan keputusan oleh pemerintah daerah.
2. Budaya paternalism yang dianut oleh masyarakat menyulitkan masyarakat untuk berdiskusi secara terbuka.
3. Tidak adanya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Untuk dapat mengefektifkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan, maka dapat dilakukan berbagai upaya. Pertama, partisipasi masyarakat perlu didorong sampai pada partisipasi dalam pembuatan keputusan, baik yang berkenaan dengan pembuatan kebijakan dan program pendidikan di daerah dan sekolah. Kedua, masyarakat sharing tanggung jawabnya dalam menciptakan iklim masyarakat dan sekolah yang lebih kondusif bagi terselenggaranya proses pendidikan, misalnya perwakilan masyarakat dapat menjadi tenaga voluntir dalam memenuhi kebutuhan kegiatan pendidikan, organisasi masyarakat menerima dengan terbuka seluruh staf pendidikan siswa yang mengunjungi fasilitas yang dimiliki masyarakat, dan sebagainya. Ketiga, masyarakat perlu terus melakukan pemantauan dan evaluasi kritis terhadap penyelenggaraan pendidikan, dengan tetap memberikan dukungan yang berarti melalui umpan balik yang konstruktif bagi perbaikan layanan pendidikan di wilayahnya. Keempat, masyarakat perlu terus mengupayakan dalam mengurangi alineasi sekolah dari masyarakat, karena pada dasarnya sekolah merupakan bagian daripada masyarakat. Kondisi yang demikian diyakini akan meningkatkan prestasi pendidikan peserta didik. Kelima, memberikan kepercayaan dan investasi bagi masyarakat lokal dengan memperkuat institusi lokal, membangun di atas fundasi lokal, dan sharing informasi. Keenam, melakukan persuasi kepada masyarakat, bahwa dengan keikutsertaan masyarakat dalam kebijaksanaan yang dilaksanakan, justru akan menguntungkan masyarakat sendiri, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Ketujuh, menggunakan tokoh-tokoh kunci masyarakat yang mempunyai khalayak banyak untuk ikut serta dalam kebijaksanaan, agar masyarakat kebanyakan yang menjadi pengikutnya juga sekaligus ikut serta dalam kebijaksanaan yang diimplementasikan. Kedelapan, mengaitkan keikutsertaan masyarakat dalam implementasi kebijaksanaan dengan kepentingan mereka.
E. Meneropong Masa Depan Partisipasi Masyarakat Dalam Kebijakan Pendidikan
Keterlibatan masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah baik dalam proses pembuatan keputusan, sampai pada tahap pengawasan telah diatur dalam undang-undang. Misalnya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang keterbukaan. Dalam Pasal 5 yang disebutkan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan dalam proses pembuatan kebijakan, mulai dari tahap perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan. Selain itu Pasal 53 juga disebutkan bahwa masyarakat berhak memberi masukan secara lisan atau tertulis dalam proses pembuatan kebijakan. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 juga disebutkan tujuan dari otonomi daerah adalah meningkatkan peran serta masyarakat daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Serta kewajiban anggota DPRD dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 untuk menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti serta memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Dengan berkembangnya pelaksanaan demokrasi dan dengan adanya otonomi daerah, diharapkan masyarakat dapat berupaya secara optimal untuk memperbaiki kesejahteraannya melalui berbagai program pembangunan sesuai dengan kepentingan dan potensinya, serta pemerintah bertindak sebagai katalisator. Hal ini tentu berdampak pula dalam seluruh aspek kehidupan termasuk di dalamnya adalah dunia pendidikan. Dengan adanya desentralisasi pendidikan dimana pemerintah daerah dan masyarakat lokal dilibatkan dalam kebijakan pendidikan, maka diharapkan masa depan pendidikan kita akan semakin berkembang.
Dengan adanya kebijakan ini maka sangat diharapkan masyarakat bisa memberikan sumbangsi ide, gagasan, opini atau pendapat serta aspirasinya demi kemajuan pendidikan di Indonesia. Aspirasi itu dapat disalurkan secara langsung berupa aksi demonstrasi dan pengiriman delegasi ke bagian hubungan masyarakat, atau kunjungan kerja. Aspirasi masyarakat juga dapat dilakukan secara tidak langsung, yang disampaikan baik kelompok maupun perseorangan secara tertulis melalui surat atau media elektronik (email) secara online yang ditujukan kepada pihak yang berwenang. Selain itu dapat juga dengan memberikan opini melalui surat kabar. Pastisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan pendidikan sebenarnya semakin dipermudah dengan memanfaatkan perkembangan IPTEK yang ada. Masyarakat akan semakin mudah mengakses informasi tentang pendidikan dan juga memberikan aspirasi, opini atau gagasan melalui media elektronik.
BAB III
PENUTUP
Demokrasi dan desentralisasi merupakan unsur yang sangat penting dan strategis diperhitungkan dalam membangun suatu negara yang berdaulat. Tentu saja manajemen pemerintahan ini berlaku juga bagi manajemen pendidikan nasional. Oleh karena itu agar pendidikan nasional di masa depan meraih keberhasilan sebagaimana yang menjadi harapan bangsa, upaya repositioning manajemen pendidikan perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Otonomi pendidikan secara sadar atau tidak mendorong semua pihak di daerah lebih mampu menunjukkan keterlibatannya dalam membangun pendidikan di daerahnya agar dapat mengantarkan anak bangsa mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang mampu menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak hanya mampu mengangkat derajatnya sendiri, melainkan juga mampu bersaing melalui kinerjanya sehingga dapat menghadapi tantangan global.
Selama ini sebagian kewenangan manajemen pendidikan nasional, terutama dalam pembuatan keputusan dipegang oleh birokrasi pusat, sehingga birokrasi daerah lebih banyak bersifat reaktif, pasif, kurang inisiatif, dan tidak berdaya, karena birokrasi daerah termasuk institusi pendidikan lebih banyak menjadi pelaksana apa yang menjadi keputusan pusat dalam banyak hal. Hendaknya partisipasi masyarakat bagi kebersilan kebijakan pendidikan menduduki posisi yang strategis, karena masyarakat pada dasarnya merupakan stakeholders pendidikan yang paling utama. Dengan demikian sangatlah tepat, jika masyarakat mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya dalam pengambilan keputusan untuk berbagai persoalan yang penting dalam proses pendidikan.
DAFTAR RUJUKAN
Imron, Ali. 2008. Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
------- Manajemen Hubungan dan Partisipasi Masyarakat. Bahan Ajar. Malang: Jurusan Administrasi Pendidikan FIP UM, 2013.
Hadiyanto. 2004. Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Irvin, R. A dan John Stansbury. Citizen Participation in Decision Making: Is It Worth The
Effort?: Public Administration Review, 2004, Vol. 64, No. 1.
Usmaniya, D. 2014. Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Program Pelaksanaan Kelompok Usaha Bersana (KUBE) di Kelurahan Dompak Kecamatan Bukit Bestari Kota Tanjungpinang Tahun 2013. Tanjungpinang: Universitas Maritim Raja Ali Haji. Diakses tanggal 30 September 2017.
Sonhadji, A. Manusia. Teknologi dan Pendidikan Menuju Peradaban Baru. Malang: Universitas Negeri Malang (UM Press), 2013.
Sufa, Diana Rahmawati. 2012. Partisipasi Masyarakat dalam Pelayanan Pendidikan di SDN
Cibeusi dan SDN Jatinangar, Tesis tidak diterbitkan, Jakarta: FISIUI.
Sulistiyorini, N. R, dkk. 2013. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah di Lingkungan Maraluyu Kelurahan Cicurug. Vol.5 Nomor 1 Hal.1. ISSN:2339-0042. Diakses tanggal 30 September 2017.
Suyadi, Ace dan Budimansyah Dasim. Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat Indonesia
Baru. Bandung: Genersindo, 2004.
World Bank. Priorities and Strategies for Education: A Word Bank Review. Washington
D.C. : The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank,
1995.
No comments:
Post a Comment