Ilustrasi (Sumber: MTsN 2 Mangfarai Barat) |
Sudah dapat dipastikan, mulai tahun pelajaran 2022/2023, kurikulum pendidikan di Indonesia akan mengalami perubahan, dari kurikulum sebelumnya (Kurikulum 2013), menjadi kurikulum baru (Kurikulum Merdeka). Dalam setiap perubahan kebijakan, termasuk di dalamnya perubahan kurikulum, terdapat dua pendekatan yang digunakan, yakni pendekatan top-down dan pendekatan bottom-up. Perubahan kurikulum dengan pendekatan top-down merupakan model administratif atau garis-komando (line-staff) yang merupakan pola pengembangan kurikulum yang paling awal dan mungkin yang paling dikenal. Pendekatan ini berasal dari atasan ke bawahan. Sedangkan model pendekatan bottom--up merupakan model grass-roots yang berasal dari bawah ke atas. Pendekatan buttom-up merupakan pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi.
Desentralisasi pendidikan, mencakup
tiga hal, yaitu; (1) manajemen berbasis lokasi (site
based management); (2) pendelegasian wewenang; dan (3) inovasi kurikulum.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan model pengelolaan sekolah yang
menekankan pada otonomi sekolah dan mengoptimalkan partisipasi warga sekolah,
yaitu; guru, pegawai tata usaha, komite sekolah dan komunitas sekolah lainnya
dalam pengambilan keputusan. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan Wohlstetter
dan Mohrman (1994:269) bahwa School
Based Management (SBM) has become a popular corner stone of education reform,
with states and school districts across the country adopting polices that
decentralize management to improve the performance of educational system.
Sudah cukup lama negara kita
menerapkan kebijakan otonomi daerah. Dengan adanya kebijakan ini maka negara
kita ingin membuka ruang untuk mengembangkan sistem desentralisasi. Adanya
otonomi daerah tentu berdampak pada pengelolaan pendidikan di daerah. Di satu
sisi, upaya otonomi pendidikan akan berpengaruh positif terhadap berkembangnya
sekolah sebagai lembaga pendidikan yang berbasis kepada kebutuhan dan tantangan-tantangan
yang dihadapi sekolah. Di sisi lain, keragaman potensi dan sumberdaya daerah
dapat menyebabkan mutu keluaran sekolah sangat bervariasi.
Dalam konteks penyelenggaraan
otonomi pendidikan harus diupayakan agar seluruh jajaran yang berkiprah dan mengabdi
di dunia pendidikan ikut serta melaksanakan prinsip-prinsip tersebut sebagai
kaidah normatif yang harus secara sadar dan tanpa pamrih mampu melaksanakannya.
Secara tidak langsung prinsip-prinsip pemberdayaan dan peningkatan kapasitas
tersebut termasuk prinsip-prinsip "good governance" yang juga menjadi
pedoman kerja dalam upaya pemberdayaan dan peningkatan kapasitas di sektor
pendidikan khususnya manajemen otonomi pendidikan.
Menurut penulis, model buttom-up (bawah-ke atas) merupakan
pendekatan yang paling baik dalam perubahan kurikulum, dibandingkan dengan
pendekatan top-down (atasan-bawahan).
Inilah yang sekarang ini mulai dikembangkan. Dalam model pengembangan yang
bersifat bottom-up, seorang guru dapat mengupayakan pengembangan
komponen-komponen kurikulum dapat keseluruhan, dapat pula sebagian dari
keseluruhan komponen kurikulum atau keseluruhan dari seluruh komponen
kurikulum. Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana,
pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling
tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun
kurikulum bagi kelasnya.
Pertanyaan mendasar di sini adalah
apakah setiap kebijakan pendidikan yang diambil saat ini, termasuk kurikulum
merdeka sungguh merupakan pendekatan secara bottom-up atau top-down? Apapun jawabannya, saya
ingin menitipkan pesan agar pemerintah harus memberikan wewenang lebih kepada
sekolah dalam menyusun kurikulum pendidikan. Hal ini perlu diperhatikan karena
kurikulum pendidikan nasional hanya mengatur pendidikan secara umum dan tidak
detail untuk penerapan di sekolah. Kurikulum pendidikan nasional hendaknya
hanya berfungsi sebagai acuan umum pendidikan nasional, sedangkan secara
praktis harus disesuaikan dengan karakteristik masing-masing sekolah dalam
penyusunannya. Jika setiap kebijakan hanya merupakan turunan dari atasan, maka
sebenarnya sekolah belum sungguh-sunguh merdeka, kurikulum pun belum merdeka.
No comments:
Post a Comment