Ilustrasi Scopus (Sumber: Sabyan PAUD) |
Scopus merupakan pusat data terbesar di dunia yang mencakup
database abstrak dan kutipan terbesar dari literatur peer-review berupa jurnal
ilmiah, buku dan prosiding konferensi.
Didirikan puluhan tahun yang lalu, bahkan ada beberapa literatur
dalam database Scopus yang sudah diterbitkan di zaman sebelum Perang Dunia
Kedua.
Tujuan dari Scopus adalah menyampaikan tinjauan komprehensif
tentang hasil penelitian dari berbagai bidang yakni bidang sains, teknologi,
ilmu sosial kedokteran, serta seni dan humaniora. Scopus menghadirkan perangkat
cerdas untuk melacak, menganalisis, dan memvisualisasikan hasil riset.
Scopus menjadi database pilihan yang abstrak dan terindeks. Maka
seorang peneliti dapat menggunakan Scopus untuk membantu penelitian mereka,
seperti mencari penulis, dan mempelajari lebih lanjut tentang cakupan konten
Scopus dan sumber metrik.
Selain itu, scopus telah menyediakan sistem penilaian untuk
mengukur apakah sebuah jurnal ilmiah yang ditulis memiliki dampak signifikan
atau tidak. Karena itu artikel yang sudah terindeks oleh Scopus memiliki
reputasi dan nilai kredit yang tinggi bagi penulis.
Di seluruh dunia, Scopus digunakan oleh lebih dari 3.000 institusi
akademik, pemerintah dan perusahaan dan merupakan sumber data utama yang
mendukung portofolio Research Intelligence.
Ada banyak pusat data ilmiah lain, seperti Web of Science, DOAJ,
Ebsco, ProQuest, SpringerLink, dan Wiley, namun popularitasnya tidak seperti
Scopus.
Tidak luput dari Scopus, Indonesia pun menjadikannya sebagai
persayaratan untuk kenaikan pangkat bagi para dosen dan kelulusan bagi
mahasiswa doktoral.
Wajib mempublikasikan hasil riset di jurnal internasional
bereputasi Scopus itu dijadikan persyaratan kenaikan pangkat atau
kelulusan.
Sejak ditetapkannya persyatan tersebut, hingga saat ini kebijakan
untuk mewajibkan publikasi penelitian melalui jurnal internasional terindeks
skopus, menuai pro dan kontra.
Secara hukum, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem
Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dinilai tidak secara khusus merujuk
pada indeks Scopus.
Kewajiban mempublikasikan artikel di jurnal internasional
bereputasi Scopus menimbulkan banyak keresahan di kalangan dosen dan mahasiswa
program doktoral.
Hal ini selain karena rumitnya memenuhi persyaratan untuk bisa
accepted, tetapi juga harus mengelurkan banyak biaya hingga akhirnya artikel
mereka dipublikasikan di jurnal dengan indeks Scopus.
Lebih dari itu, desain pendidikan Nasional kita saat ini seakan
terjebak pada mengejar peringkat semata. Siswa dan mahasiswa seakan dipaksa
untuk memiliki prestasi akademik yang tinggi sehingga mengabaikan faktor
penting lainnya seperti pembentukan karakter dan spiritual.
Guru-guru sibuk mengurus laporan administrasi untuk sertifikasi
dan melupakan esensi pendidikan itu sendiri. Siswa kurang diperhatikan, karena
guru sibuk mengejar kenaikan panggkat.
Dosen-dosen pusing berusaha agar artikelnya "tembus" di
jurnal Scopus. Mahasiswa diabaikan, yang penting persyaratan untuk kenaikan
pangkat atau gelar pengukuhan guru besar bisa terpenuhi karena karyanya sudah
dipublikasikan di jurnal Scopus.
Pertanyaannya, apakah itu yang kita kejar dalam sistem
pendidikan kita? Bukankah Ki Hajar Dewantara telah mendesain Perguruan Taman
Siswa sebagai antitesa terhadap sistem pendidikan kolonial yang lebih
mengutamakan intelektualitas, individualitas, dan materialitas?
Bukankah dengan adanya keresahan
dari para dosen dan mahasiswa tentang tuntutan jurnal Scopus, menjadi salah
satu bukti bahwa pendidikan (Kampus) kita belum merdeka?
Dengan mempertimbangkan kembali kebijakan persayaratan jurnal
Scopus, tidak berarti bahwa perguruan tinggi di Indonesia mengabaikan kriteria
akademis yang berkualitas dan berdaya saing secara global.
Mas Nadiem sebagai Mendikbud, sempat menyatakan kesepakatan untuk
mempertimbangkan kembali tentang kebijakan ini, bahkan sejak 20 Februari 2020
lalu.
"Ini memang searah dengan merdeka belajar. Saya tidak
menjanjikan policy seperti apa, tapi secara spesifik adalah otonomi universitas
untuk menentukan itu," demikian ujar mas manteri seperti dikutip dalam
mediaindonesia.com.
Janji ini sempat ditagih kembali oleh anggota Komisi X DPR F-PDIP,
Andreas Hugo Pareira pada 4 Januari 2022 lalu, namun hingga saat ini belum
terealisasi.
Maka pertanyaan mungkinkah Kampus "Merdeka" dari Scopus,
adalah sebuah pertanyaan yang masih menunggu jawaban dari para pemangku
kebijakan.
No comments:
Post a Comment