Bolehkah Kampus "Merdeka" dari Scopus? - Dasriminocarm

Dasriminocarm

BLOG INI BERISI TULISAN YANG BERKAITAN DENGAN TEMA PENDIDIKAN. TULISAN DISAJIKAN DALAM BENTUK ARTIKEL, MAKALAH, REVIEW, RESUME DAN SEJENISNYA

Breaking

SELAMAT DATANG DI DASRIMINOCARM CHANEL

Selamat Datang Di Dasriminocarm Chanel

5 Postingan Paling Populer Dibaca

Ketik kata kunci di sini

Friday, September 2, 2022

Bolehkah Kampus "Merdeka" dari Scopus?

Ilustrasi Scopus (Sumber: Sabyan PAUD)


Scopus merupakan pusat data terbesar di dunia yang mencakup database abstrak dan kutipan terbesar dari literatur peer-review berupa jurnal ilmiah, buku dan prosiding konferensi. 

Didirikan puluhan tahun yang lalu, bahkan ada beberapa literatur dalam database Scopus yang sudah diterbitkan di zaman sebelum Perang Dunia Kedua. 

Tujuan dari Scopus adalah menyampaikan tinjauan komprehensif tentang hasil penelitian dari berbagai bidang yakni bidang sains, teknologi, ilmu sosial kedokteran, serta seni dan humaniora. Scopus menghadirkan perangkat cerdas untuk melacak, menganalisis, dan memvisualisasikan hasil riset.

Scopus menjadi database pilihan yang abstrak dan terindeks. Maka seorang peneliti dapat menggunakan Scopus untuk membantu penelitian mereka, seperti mencari penulis, dan mempelajari lebih lanjut tentang cakupan konten Scopus dan sumber metrik. 

Selain itu, scopus telah menyediakan sistem penilaian untuk mengukur apakah sebuah jurnal ilmiah yang ditulis memiliki dampak signifikan atau tidak. Karena itu artikel yang sudah terindeks oleh Scopus memiliki reputasi dan nilai kredit yang tinggi bagi penulis.

Di seluruh dunia, Scopus digunakan oleh lebih dari 3.000 institusi akademik, pemerintah dan perusahaan dan merupakan sumber data utama yang mendukung portofolio Research Intelligence. 

Ada banyak pusat data ilmiah lain, seperti Web of Science, DOAJ, Ebsco, ProQuest, SpringerLink, dan Wiley, namun popularitasnya tidak seperti Scopus. 

Tidak luput dari Scopus, Indonesia pun menjadikannya sebagai persayaratan untuk kenaikan pangkat bagi para dosen dan kelulusan bagi mahasiswa doktoral.

Wajib mempublikasikan hasil riset di jurnal internasional bereputasi Scopus itu dijadikan persyaratan kenaikan pangkat atau kelulusan. 

Sejak ditetapkannya persyatan tersebut, hingga saat ini kebijakan untuk mewajibkan publikasi penelitian melalui jurnal internasional terindeks skopus, menuai pro dan kontra. 

Secara hukum, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dinilai tidak secara khusus merujuk pada indeks Scopus.

Kewajiban mempublikasikan artikel di jurnal internasional bereputasi Scopus menimbulkan banyak keresahan di kalangan dosen dan mahasiswa program doktoral. 

Hal ini selain karena rumitnya memenuhi persyaratan untuk bisa accepted, tetapi juga harus mengelurkan banyak biaya hingga akhirnya artikel mereka dipublikasikan di jurnal dengan indeks Scopus. 

Lebih dari itu, desain pendidikan Nasional kita saat ini seakan terjebak pada mengejar peringkat semata. Siswa dan mahasiswa seakan dipaksa untuk memiliki prestasi akademik yang tinggi sehingga mengabaikan faktor penting lainnya seperti pembentukan karakter dan spiritual. 

Guru-guru sibuk mengurus laporan administrasi untuk sertifikasi dan melupakan esensi pendidikan itu sendiri. Siswa kurang diperhatikan, karena guru sibuk mengejar kenaikan panggkat. 

Dosen-dosen pusing berusaha agar artikelnya "tembus" di jurnal Scopus. Mahasiswa diabaikan, yang penting persyaratan untuk kenaikan pangkat atau gelar pengukuhan guru besar bisa terpenuhi karena karyanya sudah dipublikasikan di jurnal Scopus.

Pertanyaannya, apakah itu yang kita kejar dalam sistem pendidikan kita? Bukankah Ki Hajar Dewantara telah mendesain Perguruan Taman Siswa sebagai antitesa terhadap sistem pendidikan kolonial yang lebih mengutamakan intelektualitas, individualitas, dan materialitas? 

Bukankah dengan adanya keresahan dari para dosen dan mahasiswa tentang tuntutan jurnal Scopus, menjadi salah satu bukti bahwa pendidikan (Kampus) kita belum merdeka? 

Dengan mempertimbangkan kembali kebijakan persayaratan jurnal Scopus, tidak berarti bahwa perguruan tinggi di Indonesia mengabaikan kriteria akademis yang berkualitas dan berdaya saing secara global.

Mas Nadiem sebagai Mendikbud, sempat menyatakan kesepakatan untuk mempertimbangkan kembali tentang kebijakan ini, bahkan sejak 20 Februari 2020 lalu. 

"Ini memang searah dengan merdeka belajar. Saya tidak menjanjikan policy seperti apa, tapi secara spesifik adalah otonomi universitas untuk menentukan itu," demikian ujar mas manteri seperti dikutip dalam mediaindonesia.com. 

Janji ini sempat ditagih kembali oleh anggota Komisi X DPR F-PDIP, Andreas Hugo Pareira pada 4 Januari 2022 lalu, namun hingga saat ini belum terealisasi. 

Maka pertanyaan mungkinkah Kampus "Merdeka" dari Scopus, adalah sebuah pertanyaan yang masih menunggu jawaban dari para pemangku kebijakan.

No comments:

Post a Comment