MODEL-MODEL SUPERVISI PENDIDIKAN - Dasriminocarm

Dasriminocarm

BLOG INI BERISI TULISAN YANG BERKAITAN DENGAN TEMA PENDIDIKAN. TULISAN DISAJIKAN DALAM BENTUK ARTIKEL, MAKALAH, REVIEW, RESUME DAN SEJENISNYA

Breaking

SELAMAT DATANG DI DASRIMINOCARM CHANEL

Selamat Datang Di Dasriminocarm Chanel

5 Postingan Paling Populer Dibaca

Ketik kata kunci di sini

Thursday, November 18, 2021

MODEL-MODEL SUPERVISI PENDIDIKAN

 


 

A.  Pengertian Supervisi Pendidikan

Menurut Wiles (1987) supervisi pendidikan adalah segenap bantuan yang diberikan oleh seseorang dalam mengembangkan situasi belajar mengajar di sekolah ke arah yang lebih baik. Supervisi meliputi segenap aktivitas yang dirancang untuk mengembangkan pembelajaran pada semua tingkatan organisasi sekolah. Melalui teori yang diungkapkan oleh Wiles diatas, dapat dilihat bahwa supervisi adalah berpusat pada suatu pengembangan dan tentunya kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Supervisi ini sendiri memiliki tujuan yang sangat penting bagi suatu perubahan khususnya dilingkungan sekolah sebagai tempat formal dalam menuntut ilmu pengetahuan bagi peserta didik.

Dalam dunia pendidikan, sekolah ataupun para pegawainya pasti menginginkan suatu perkembangan, dan perkembangan tersebut hanyalah bisa diciptakan apabila pendidik sebagai pengajar maupun kepala sekolahnya dapat berpastisipasi dengan baik dan menokohkan dengan baik karakter mereka sebagai pedoman bagi para peserta didik dalam menerima ilmu pengetahuan baru. Dengan mengharapkan suatu perkembangan, pendidik maupun kepala sekolah yang merupakan objek penting dari kegiatan supervisi ini harus siap dengan adanya penilaian tentang kinerja mereka selama mengajar di dalam kelas. Penilaian inilah yang nantinya akan mempengaruhi perkembangan sekolah tersebut, apakah dilihat dari metode pembelajarannya, media pembelajaran yang digunakan, maupun pendekatan yang dilakukan oleh pendidik agar bisa merubah peserta didik seperti yang dijelaskan dalam tujuan pendidikan itu sendiri yaitu bisa memanusiakan manusia, artinya pendidik sebagai pengajar mampu merubah dengan baik prilaku maupun mental peserta didik agar menjadi lebih baik lagi. 

 

Pendapat lain mengatakan bahwa supervision is what school personal do with adults and things to maintain or change the school operation in ways that directly influence the teaching process employed to promote pupil learning. Supervision is highly instruction-related but not highly pupil-related. Supervision is a major function of the school operation, not a task or specific job or a set of technique (Harris, 1975, dalam Sergiovanni and Starrat, 1979). Teori tersebut memberikan pengertian bahwa supervisi adalah proses yang dilakukan oleh personil sekolah dengan tujuan dapat meningkatkan aktivitas belajar peserta didik. Peningkatan ini sendiri merupakan tujuan dari supervisi pendidikan, seperti yang diungkapkan oleh Sergiovanni dan Starrat (1979) tentang tujuan khusus supervisi atau yang disebut sebagai tujuan langsung dari supervisi pendidikan yakni mengembangkan “setting” belajar mengajar yang lebih baik secara kooperatif.

Berikut beberapa aspek yang menjadi pusat perhatian supervisi pendidikan ini, antara lain:

Personil

Material

Operasional

1.    Kepala Sekolah

2.    Guru-guru

3.    Karyawan Sekolah

 

4.    Siswa

 

5.    Orang Tua

 

6.    Pengawas

7.    Dan lain-lain

1.    Kurikulum Sekolah

2.    Buku-buku pelajaran

3.    Perlengkapan

 

4.    Alat-alat belajar siswa

 

5.    Gedung dan sarana fisik sekolah

6.    Peralatan kantor

7.    Dan lain-lain

1.    Proses Mengajar Guru

2.    Proses belajar siswa

3.    Proses kepemimpinan dan supervisi KS

4.    Proses administrasi sekolah

5.    Usaha kesejahteraan sekolah

6.    Pelaksanaan evaluasi

7.    Dan sebagainnya.

            

    Melalui table diatas, dapat kita lihat bahwa supervisi pendidikan merupakan suatu kegiatan yang mencakup seluruh personil sekolah dengan menilai kinerja masing-masing personil untuk mencapai tujuan dalam mengembangkan baik itu kinerja para guru maupun sarana dan prasarana yang membantu dalam proses pengembangan itu sendiri. 

 

B.  Orientasi Supervisi Pendidikan

Dalam memberikan supervisi, supervisor dapat melakukan beberapa pendekatan diantaranya yaitu pendeketan direktif, non-direktif, dan kolaboratif. Berikut penjelasan lebih lengkap mengenai pendekatan-pendekatan tersebut:

1.      Pendekatan Direktif

Pendekatan Direktif dalam penerapan supervisi di lembaga pendidikan adalah sesuatu yang dilakukan secara langsung. Pendekatan ini berdasarkan pada pemahaman terhadap psikologi behaviorisme yang dalam prinsipnya menyatakan bahwa segala perbuatan berasal dari refleks yaitu respon terhadap rangsangan atau stimulus. Guru yang mengalami kekurangan perlu diberikan rangsangan agar dia dapat bereaksi, supervisor guru dapat menggunakan penguatan (reinforcement) atau hukuman (punishment).

Supervisor atau kepala sekolah yang mengadakan supervisi direktif ini, prinsip yang dilakukan adalah menjelaskan, menyajikan, mengarahkan, memberi contoh dan menguatkan.

Tehnik secara langsung ini bisa bersifat:

a.       Individual: seperti kunjungan kelas, observasi kelas, percakapan pribadi, intervensi, menyeleksi berbagai sumber yang digunakan untuk mengajar dan melihat cara dan hasil evaluasi.

b.      Kelompok: yaitu pendekatan yang dapat dilakukan dengan bentuk-bentuk rapat guru, panitia penyelenggaraan kegiatan sekolah, studi kelompok guru dan workshop.

2.      Pendekatan Non-Direktif

Tehnik supervisi ini adalah secara tidak langsung merupakan pendekatan masalah pengajaran yang sifatnya tidak langsung menunjukan permasalahan, melainkan seorang guru bercerita mengemukakan permasalahan yang mereka alami. Pendekatan berdasarkan pada pemahaman psikologi humanistic yang dalam prinsipnya menyatakan bahwa orang yang akan dibantu itu sangat dihargai. Pada pendekatan ini supervisor lebih banyak mendengarkan masalah yang dihadapi oleh guru dan mencoba mendengarkan serta memahami apa yang dialami guru-guru. Prilaku supervisor dalam pendekatan non-direktif ini adalah sebagai berikut: mendengarkan, memberikan penguatan, menjelaskan, menyajikan, dan memecahkan.

3.      Pendekatan Kolaboratif

Pendekatan kolaboratif adalah cara pendekatan yang memadukan cara kedua pendekatan sebelumnya yaitu direktif dan non-direktif menjadi cara pendekatan baru. Pada pendekatan ini supervisor dan guru bersama-sama dan bersepakat untuk menetapkan struktur, proses dan kriteria dalam melaksanakan proses percakapan terhadap masalah yang dihadapi oleh guru. Pendekatan ini didasarkan pada psikologi kognitif yang dalam prinsipnya menyatakan bahwa belajar adalah hasil paduan antara kegiatan individu dan lingkungan, yang pada gilirannya nanti akan berpengaruh dalam pembentukan aktifitas individu.

Prilaku supervisi dalam pendekatan kolaboratif ini adalah sebagai berikut: menyajikan, menjelaskan, mendengarkan, memecahkan permasalahan dan negosiasi.

Orientasi perilaku supervisi:

Menurut glickman (1981), orientasi perilaku supervisi pembelajaran sebagai berikut:

1.      Mendengar (Listening). Yang dimaksud dengan mendengar adalah supervisor mendengarkan apa saja yang dikemukakan oleh guru. Yang dikemukakan tersebut, bisa saja berupa kelemahan, kesulitan, kesalahan, msalah dan apa saja yang dialami oleh guru.

2.      Mengklarifikasi (Clarifyieng). Yang dimaksud dengan mengklarifikasi adalah bahwa supervisor memperjelas mengenai apa yang dimaksud oleh guru. Jika pada mendengar (point 1) di atas, supervisor mendengar mengenai apa saja yang dikemumakakan oleh guru, maka dalam mengklarifikasi ini supervisor menjelaskan apa yang dimaui oleh guru dengan menanyakan kepadanya.

3.      Mendorong (encouraging). Yang di maksud dengan mendorong adalah supervisor mendorong kepada guru agar mau mengemukakan kembali mengenai sesuatu hal bila dirasakan belum jelas.

4.      Mempresentasikan (presenting). Yang dimaksud mempresentasikan adalah supervisor mencoba mengemukakan persepsinya mengenai apa yang dimaksud oleh guru.

5.      Memecahkan masalah (problem sorving). Yang dimaksud dengan memecahkan masalah adalah supervisor bersama-sama dengan guru memcahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh guru.

6.      Negosiasi (Negotiating). Yang dimaksud dengan negosiasi adalah berunding. Dalam berunding demikian, supervisor dan guru membangun kesepakatan-kesepakatan mengenai tugas yang harus dilakukan masing-masing atau bersama-sama.

7.      Mendemonstrasikan (Demonstrating). Yang dimaksud dengan mendemonstrasikan adalah bahwa supervisor mendemonstrasikan tampilan tertentu dengan maksud agar dapat diamati dan ditirukan oleh guru.

8.      Mengarahkan (directing). Yang dimaksud dengan mengarahkan adalah supervisor mngarahkan agar guru melakukan hal-hal tertentu.

9.      Menstandarkan (Standardiation). Supervisor mengadakan penyesuaian-penyesuaian bersama dengan guru.

10.  Memberikan penguatan (reinforcing). Supervisor menggambarkan kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi supervisi pembelajaran.

 

C.  Model-Model Supervisi Pendidikan pada proses pengajaran

Dalam penerapannya di dunia pendidikan, supervisi memiliki beberapa model pengembangan yang disebut dengan model supervisi pendidikan, dalam sebuah buku yang berjudul supervisi pendidikan dan pengajaran oleh Burhanuddin, dkk (2005) mengatakan ada 3 model atau pendekatan dalam supervisi pedidikan dan pengajaran ini, yaitu: pendekatan atau model supervisi ilmiah, artistik, dan klinik. Berikut beberapa penjelasan mengenai model-model supervisi pendidikan serta orientasinya dalam proses pengajaran.

a.       Model dan pendekatan Supervisi Ilmiah

Model supervisi ilmiah dalam supervisi pengajaran diartikan sebagai sebuah science atau ilmu pengetahuan dengan demikan pengadaan perubahan pada supervisi ilmiah ini tentunya menggunakan metode-metode ilmiah. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh supervisor guru dalam meningkatkan dan mengupayakan perbaikan pengajaran yaitu dengan memperhatikan beberapa pendekatan ilmiah berikut ini:

1.      Mengimplementasikan hasil temuan para peneliti.

2.      Bersama-sama dengan peneliti mengadakan penelitian dibidang pengajaran dan hal-hal lain yang menyangkutpaut dengannya.

3.      Menerapkan metode ilmiah dan mempunyai sikap ilmiah dalam menentukan efektifitas pengajaran.

 

b.      Model dan pendekatan Supervisi Artistik

Pada penerapannya dalam dunia supervisi pendidikan, model supervisi artistik ini sendiri muncul karena adanya ketidakpuasaan terhadapat model supervisi sebelumnya yakni supervisi ilmiah. Menurut Elliot W. Eisner dalam tulisannya berjudul “An Artistic Approach to Supervision” seorang professor pemdidikan dan seni pada Stanford University, Palo Arto, California, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sergiovanni dalam bukunya yang berjudul “Supervision of Teaching” mengemukakan secara medasar mengenai beberapa kegagalan yang dilakukan oleh supervisor dengan menggunakan pendekatan ilmiah secara internal. Supervisi pengajaran dalam menggunakan pendekatan ilmiah disinyalir gagal karena terlalu berani menggeneralisasikan tampilan-tampilan pengajaran yang tampak sebagai keseluruhan peristiwa pengajaran.

Dalam menangkap pengajaran, supervisi artistik ini berusaha menerobos keterbatasa-keterbatasan yang dimiliki oleh pendekatan supervisi ilmiah yang sebelumnya telah dijelaskan. Supervisi artistik ini berbeda dengan supervisi ilmiah, dimana supervisor guru harus memperhatikan kondisi psikologi dan sosiologik pelakunya, artinya tidak perlu memperhatikan temuan ilmiah karena dianggap sangat monoton pada teori daripada gurunya langsung sebagai subjek yang akan disupervisi. Oleh karenanya dalam menyupervisi guru, seorang supervisor turut mengamati, merasakan dan mengapresiasikan pengajaran secara langsung dilakukan oleh guru tersebut.

 

c.       Model dan pendekatan Supervisi Klinis

Pendekatan atau jenis model supervisi pendidikan yang terakhir yaitu supervisi klinis. Supervisi ini terbagi menjadi dua yaitu suprvisi klinis dan non-klinis.

Menurut Herijono, dkk (1996) mengatakan bahwa supervisi klinis  merupakan suatu bentuk bantuan professional yang diberikan kepada calon guru maupun guru itu sendiri berdasarkan kebutuhannya melalui siklus yang sistematis dalam perencanaan, pengamatan yang cermat, dan pemberian umpan balik segera secara objektif tentang penampilan pengajarannya yang nyata untuk meningkatkan keterampilan dan sikap profesionalnya. Upaya dalam penerapan supervisi ini, guru diharapkan mampu mengetahui kelemahan dan kelebihannya dalam proses pengajaran serta dapat mengembangkan diri secara maksimal dengan tujuan dapat meningkatkan pengarannya didalam kelas.

Ciri-ciri supervisi klinis:

1.      Pembimbingan yang dilaksanakan oleh supervisor guru atau calon guru adalah berupa bantuan bukan sebuah perintah atau instruksi untuk melakukan sesuatu sehingga guru sebagai objek supervisi mengetahui tanggung jawabnya sebagai seorang guru. Hal penting yang perlu dilakukan oleh supervisor adalah bagaimana meningkatkan prakarsa guru agar kemampuan mengajarnya semakin meningkat.

2.      Jenis kemampuan yang menjadi faktor penilaian supervisor guru adalah sesuai dengan usul yang diajukan oleh guru, kemudian dikaji oleh keduanya (antara supervisor dan guru) untuk dijadikan kesepakatan semacam kontrak latihan. Usul yang diajukan berupa hasil analisi yang dilakukan oleh keduannya setelah mendapatkan kelemahan atau kelebihan pada proses pengajaran guru tersebut, sehingga guru mengusulkan pada supervisor mengenai cara agar kelemahannya tersebut dapat diperbaiki sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan kemampuan guru dalam mengajar.

3.      Supervisi klinis lebih memfokuskan pada kemampuan da keterampilan tertentu saja pada guru.

Contoh: di kelas, guru menggunakan banyak keterampilan seperti metode, media dan keterampilan lainnya, namun untuk meningkatkanya kemampuan perlu ditekankan pada aspek terntentu sehingga prilaku guru pada saat melakukan supervisi mudah diamati dan langsung diberikan balikan.

4.      Instrument observasi dipilih dan dikembangkan bersama oleh kedua bela pihak sesuai kontrak keduanya.

5.      Balikan terhadap kegiatan mengajar guru harus diberikan segera setelah pengamatan yang dilakukan oleh supervisor.

6.      Kegiatan supervisi klinis dilakukan dengan cara tatap muka dalam suasan intim dan terbuka.

7.      Supervisor lebih banyak bertanya dan mendengarkan dari pada memerintah.

8.      Kegiatan supervisi klinis berlangsung dalam 3 siklus, yaitu pertemuan awal, observasi, dan pertemuan balikan.

9.      Supervisi klinis ini bisa digunakan baik dalam proses pra-jabatan maupun dalam jabatan disamping untuk meningkatkan proses belajar dan mengajar.

Berikut beberapa perbedaan antara supervisi klinis dan non-klinis:

No.

Aspek

Supervisi Klinis

Supervisi Non-Klinis

1.

Prakarsa dan tanggung jawab.

Terutama oleh guru

Terutama oleh supervisor

2.

Hubungan antara supervisor dan guru.

Hubungan kolegial yang sederajat dan interaktif.

Hubungan atasan bawahan yang bersifat birokratif.

3.

Sifat supervisi

Bantuan yang demokratis

Cenderung direktif atau otoriter.

4.

Sasaran supervisi

Diajukan oleh guru sesuai dengan kebutuhannya dan dikaji bersama kemudian menjadi kontrak antar keduanya.

Samar-samar atau sesuai dengan keinginan supervisor.

5.

Tujuan supervisi

Terbatas sesuai dengan kontrak.

Umum dan luas.

6.

Peran supervisor

Bimbingan analitik dan deskriptif banyak bertanya untuk membantu guru menganalisis diri.

Cenderung evaluative, banyak memberi tahu dan mengarahkan.

7.

Balikan

Dengan analisis dan interaksi bersama atas data observasi sesuai kontrak.

Samar-samar atau atas kesimpulan supervisor.

 

Pada table diatas, bisa disimpulkan bahwa perbedaan supervisi klinis dan non-klini itu terluhat sangat jelas, dimana supervisi klinis bersifat seperti sebuah kekeluargan yang terjadi akibat adanya kontrak dengan tujuan dapat mengembangkan pengajaran oleh seorang guru, sedangkan supervisi non-klinis tidak mengadakan perjanjian dengan guru sebelumnya dan terjadi secara langsung dan dinilaipun apa adanya guru di dalam kelas. Sehingga supervisi non-klinis ini hasilnya akan mencakup secara luas dan umum.

 

DAFTAR RUJUKAN

 

Burhanuddin, dkk.  2007. Supervisi Pendidikan dan Pengajaran (konsep, pendekatan dan penerapan pembinaan professional). Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.

Glickman, C. D. 1981. Developmental Supervision: Alternative Practices for Helping Teachers Improve Instruction. Virginia, Alexandria: ASCD

Harris, B. M. Supervisory Behavior in Education. 2nd ed. Englewood Cliffs, N. J.: Prentice Hall, Inc, 1975.

Sergiovanni, T. J,. and Starrat, R. J. Supervision: Human Perspectives. 2nd ed. Newyork: McGraw-Hill, Inc, 1979.

No comments:

Post a Comment