KI HADJAR DEWANTARA Vs TAKSONOMI BLOOM - Dasriminocarm

Dasriminocarm

BLOG INI BERISI TULISAN YANG BERKAITAN DENGAN TEMA PENDIDIKAN. TULISAN DISAJIKAN DALAM BENTUK ARTIKEL, MAKALAH, REVIEW, RESUME DAN SEJENISNYA

Breaking

SELAMAT DATANG DI DASRIMINOCARM CHANEL

Selamat Datang Di Dasriminocarm Chanel

5 Postingan Paling Populer Dibaca

Ketik kata kunci di sini

Monday, May 21, 2018

KI HADJAR DEWANTARA Vs TAKSONOMI BLOOM


Oleh: Henderikus Dasrimin

Konsep
Ki Hadjar Dewantara: “Pendidikan adalah daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya”.
Taksonomi Bloom:
Klasifikasi domain hasil pembelajaran yang menjadi acuan dalam mengembangkan dan pembaharuan  kurikulum dapat dibagi ke dalam tiga domain, yaitu: 
a. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. 
b. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. 
c. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
a. Ranah kognitif.
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Dalam ranah kognitif ini terdapat enam aspek atau jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah: 
1. Pengetahuan (Knowledge). Merupakan kemampuan menyatakan kembali fakta, konsep, prinsip, prosedur atau istilah yang telah dipelajari (recall data or information). Tingkatan ini merupakan tingkatan yang paling rendah namun menjadi prasyarat bagi tingkatan selanjutnya. Kemampuan yang dimiliki hanya kemampuan menangkap informasi kemudian menyatakan kembali informasi tersebut tanpa memahaminya. 
2. Pemahaman (Comprehension). Pada tingkatan ini, selain hafal, siswa juga harus memahami makna yang terkandung, misalnya dapat menjelaskan suatu gejala, dapat menginterpretasikan grafik, bagan atau diagram serta dapat menjelaskan konsep atau prinsip dengan kata-kata sendiri. 
3. Penerapan (Application). Merupakan kemampuan untuk menggunakan konsep dalam situasi baru atau pada situasi konkret. Tingkatan ini merupakan jenjang yang lebih tinggi dari pemahaman. Kemampuan yang diperoleh meliputi kemampuan untuk menerapkan prinsip, konsep, teori, hukum maupun metode yang dipelajarinya dalam situasi baru.
4. Analisis (Analysis). Merupakan kemampuan untuk memilah materi atau konsep ke dalam bagian-bagian sehingga struktur susunannya dapat dipahami. Dengan analisis diharapkan seorang siswa dapat memilah integritas menjadi bagian-bagian yang lebih rinci atau lebih terurai dan memahami hubungan-hubungan bagian-bagian tersebut satu sama lain. 
5. Sintesis (Synthesis). Merupakan kemampuan untuk mengintegrasikan baian-bagian yang terpisah menjadi suatu keseluruhan yang terpadu. Kemampuan ini misalnya dalam merencanakan eksperimen, menyusun karangan, menggabungkan objek-objek yang memiliki sifat sama ke dalam suatu klasifikasi. 
6. Evaluasi (Evaluation). Merupakan kemampuan untuk membuat pertimbangan (penilaian) terhadap suatu situasi, nilai-nilai atau ide-ide. Kemampuan ini merupakan kemampuan tertinggi dari kemampuan lainya.

b. Ranah efektif 
1) Penerimaan (Receiving/Attending). Kesediaan untuk menyadari adanya suatu fenomena di lingkungannya. Dalam pengajaran bentuknya berupa mendapatkan perhatian, mempertahankannya, dan mengarahkannya. 
2) Tanggapan (Responding). Memberikan reaksi terhadap fenomena yang ada di lingkungannya. Meliputi persetujuan, kesediaan, dan kepuasan dalam memberikan tanggapan.
 3) Penghargaan (Valuing). Berkaitan dengan harga atau nilai yang diterapkan pada suatu objek, fenomena, atau tingkah laku. Penilaian berdasar pada internalisasi dari serangkaian nilai tertentu yang diekspresikan ke dalam tingkah laku.
 4) Pengorganisasian (Organization) Memadukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik di antaranya, dan membentuk suatu sistem nilai yang konsisten. 
5) Pembentukan Pola Hidup. Memiliki sistem nilai yang mengendalikan tingkah-lakunya sehingga menjadi karakteristik gaya-hidupnya. Krathwohl, Bloom dan Masia (1964), membagi ranah afektif ini dalam lima tingkatan mulai dari pengenalan, pemberian respon, penghargaan terhadap nilai-nilai, peng-organisasian, dan pengalaman.
c. Ranah Psikomotorik (Psychomotor Domain) 
Ranah psikomotor adalah kemampuan yang dihasilkan oleh fungsi motorik manusia yaitu berupa keterampilan untuk melakukan sesuatu. Keterampilan melakukan sesuatu tersebut, meliputi keterampilan motorik, keterampilan intelektual, dan keterampilan sosial.
Klasifikasi ranah psikomotor dijabarkan sebagai berikut.
a. Peniruan (Imitation) adalah mengamati perilaku dan pola setelah orang lain. Kinerja mungkin kualitas rendah. 
b. Penggunaan (Manipulation) adalah mampu melakukan tindakan tertentu dengan mengikuti instruksi dan berlatih. 
c. Ketepatan (Precision) adalah mengulangi pengalaman serupa agar menuju perubahan yang ke arah yang lebih baik. 
d. Perangkaian (Articulation) adalah koordinasi serangkaian tindakan, mencapai keselarasan dan konsistensi internal.
e. Naturalisasi (Naturalitation): Setelah kinerja tingkat tinggi menjadi alami, tanpa perlu berpikir banyak tentang hal itu. 

Kesimpulan: Dari dua konsep di atas maka dalam dunia pendidikan modern saat ini, meskipun berbeda secara substansial, konsep trisakti jiwa bisa diselaraskan dengan upaya memfasilitasi seluruh potensi peserta didik dalam perkembangan belajarnya yang meliputi: aspek kognitif (pengetahuan/pemahaman), aspek afektif (sikap atau minat), dan sikap psikomotorik (keterampilan). Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh dan berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (psikomotorik). Maka kedua konsep ini tidak bertentangan satu sama lain.

Konsep Ki Hadjar Dewantara dengan Program Full Day School
Pendidikan dengan sistem full day school adalah sebuah sistem pembelajaran yang dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan sehari penuh dengan memadukan sistem pembelajaran secara intensif dengan memberikan tambahan waktu khusus untuk pendalaman selama lima hari dan sabtu diisi dengan relaksasi atau kreativitas (Peter Salim, 1998).
Secara umum, sekolah full day didirikan untuk mengakomodir berbagai permasalahan yang ada di masyarakat, yang menginginkan anak mereka mendapatkan pendidikan terbaik baik dari aspek akademik dan non akademik serta memberikan perlindungan bagi anak dari pergaulan bebas. Secara rinci sekolah full day didirikan karena adanya tuntutan diantaranya: Pertama, minimnya waktu orang tua di rumah karena tingginya tuntutan kerja. Orang tua akan memberikan kesibukan pada anaknya sepulang sekolah dengan jaminan keamanan dan manfaat yang banyak. Lain halnya jika orang tua kurang memperhatihan masalah anak, maka yang terjadi adalah anak akan mencari kegiatan negatif tanpa kendali bahkan bisa jadi anak akan terjebak dalam lingkungan pergaulan sosial yang buruk. Kedua, perlunya pengawasan terhadap segala kebutuhan dan keselamatan anak, terutama bagi anak di usia dini selama orang tua bekerja. Ketiga, perlunya formalisasi jam-jam tambahan keagamaan karena dengan minimnya waktu orang tua di rumah maka secara otomatis pengawasan terhadap hal tersebut juga minim. Keempat, perlunya peningkatan kualitas pendidikan sebagai solusi berbagai permasalahan bangsa saat ini (Marfiah Astuti, 2013).
Banyaknya waktu di sekolah bersistem full day school memungkinkan para staf guru untuk merancang kurikulum yang dikembangkan. Hal ini dimaksudkan selain materi yang menjadi kewajiban untuk diajarkan sesuai peraturan pemerintah, terbuka juga kesempatan untuk menambahkan materi lain yang dipandang sesuai dan relevan dengan visi-misi lembaga pendidikan tersebut. Full day school merupakan program pendidikan dimana seluruh aktivitasnya berada di sekolah dengan memiliki ciri-ciri integrated activity dan integrated curriculum. Melalui model pendekatan seperti ini seluruh program dan aktivitas anak di sekolah mulai dari belajar, bermain, makan, dan ibadah di kemas dalam suatu sistem pendidikan. Dengan sistem ini diharapkan pendidikan akan mampu menghasilkan karakter yang religius, terampil, humanis, dimana semuanya telah terangkum dalam tujuan integrated education. Full day school merupakan terjemah dari konsep effective school yang dimaksudkan untuk menciptakan atau menyiasati lingkungan yang efektif serta produktif untuk berlangsungnya proses pendidikan peserta didik, sebagai konsekuensinya anak-anak diberi waktu lebih banyak di lingkungan sekolah (Wiwik Sulistyaningsih, 2008).
Peran lembaga pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai berkarakter terhadap peserta didik menjadi tugas mulia yang harus didukung dengan berbagai cara. Upaya yang dilakukan pendidikan diantaranya bekerjasama dengan masyarakat, stake holder, orang tua, dan pengguna lembaga pendidikan lain. Orang tua yang memiliki banyak kesibukan tentunya akan mempercayakan pendidikan dan pengasuhan anaknya terhadap lembaga pendidikan yang secara intensif mampu memberikan pelayanan secara maksimal terhadap putra-putrinya. Lembaga Pendidikan yang menerapkan metode full day school akan menjadi jawaban bagi orang tua atau pengguna lembaga pendidikan yang menginginkan putra-putrinya memiliki kecakapan, ketrampilan, kecerdasan, kemampuan, sikap, etika, moral, ahklak, serta nilai-nilai religius yang selalu tercermin pada tiap langkah kehidupannya yang secara tidak langsung merupakan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia akan terpatri dalam perilaku peserta didik melalui full day school.
Pada penelitian terdahulu yang membahas tentang fullday school telah dilakukan oleh Andikurrahman (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Dampak Pelaksanaan Full Day School ter-hadap Perkembangan Sosial Peserta Didik (Studi Kasus di SD Plus Nurul Hikmah Pamekasan). Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa SD Plus Nurul Hikmah Pamekasan merupakan salah satu sekolah yang menerapkan model full day school. Di sana anak didik diberi waktu lebih banyak di lingkungan sekolah. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa: 1) Dampak pelaksanaan full day school terhadap perkembangan sosial peserta didik di SD Plus Nurul Hikmah Pamekasan adalah: kurangnya interaksi sosial pada peserta didik, kurangnya rasa percaya diri pada peserta didik, dan rendahnya kepekaan sosial pada peserta didik; 2) upaya yang dilakukan dalam mengatasi permasalahan tersebut adalah: peserta didik dibiasakan bertegur sapa setiap bertemu dengan guru, teman maupun orang tuanya, menjalin kerjasama dengan wali murid, diadakan studi banding ke sekolah lain, diadakan pertemuan secara berkala di rumah peserta didik secara bergantian, peserta didik dibisaakan shalat Dhuha, Dhuhur dan Asar secara berjamaah ketika di sekolah.
Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan Dina (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Full Day School Terhadap Kecerdasan Sosial Anak Kelas IV di SDIT Bina Anak Sholeh Yogyakarta dijelaskan bahwa pendidikan atau sekolah dengan Sistem full day school kian diminati. Alasan yang bisaa muncul adalah karena waktu belajar di sekolah lebih panjang. Konsep ini dianggap mampu mengembangkan kreativitas dan keilmuan anak didik secara lebih tepat, sehingga hal tersebut dapat meningkatkan kecerdasan sosial anak. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan pertama, sistem pembelajaran full day school yang dikembangkan di SDIT Bina Anak Shaleh Yogyakarta memiliki ka-rakteristik pendidikan antara lain Akhlak Aplikatif, Learning by Doing, Habit Forming, Life Curri-culum dan Leadership Life Skiil. Kedua, tingkat kecerdasan sosial anak SDIT Bina Anak Shaleh Yogyakarta dikategorikan sedang, Hal itu dikarenakan masih nampak perilaku sosial anak kelas IV yang memang dinilai kurang tepat. Ketiga, terdapat korelasi positif yang sangat signifikan antara full day school dan kecerdasan sosial anak (Marfiah Astuti, 2013).

Kesimpulan:
Full day school merupakan program pendidikan dimana seluruh aktivitasnya berada di sekolah dengan memiliki ciri-ciri integrated activity dan integrated curriculum. Melalui model pendekatan seperti ini seluruh program dan aktivitas anak di sekolah mulai dari belajar, bermain, makan, dan ibadah di kemas dalam suatu sistem pendidikan. Dengan sistem ini diharapkan pendidikan akan mampu menghasilkan karakter yang religius, terampil, humanis, dimana semuanya telah terangkum dalam tujuan integrated education.
Program full day school diharapkan dapat menghasilkan outpun peserta didik yang memiliki memiliki kecakapan, ketrampilan, kecerdasan, kemampuan, sikap, etika, moral, ahklak, serta nilai-nilai religius yang selalu tercermin pada tiap langkah kehidupannya. Maka tujuan dari program full day school pada hakikatnya tidak bertentangan dengan apa yang dimaksudkan oleh Ki Hadjar Dewantara tentang: “Pendidikan adalah daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya”. Sekalipun sebagai kelemahan, program ini juga dinilai kurang memperhatikan aspek psiko-sosial anak. Anak seakan “dipaksa” untuk lebih banyak waktu untuk belajar di sekolah dan mengurangi saat bermain anak di rumah dan lingkungannya yang sebenarnya juga memiliki pengaruh pada relasi sosial anak di tengah keluarga dan masyarakat.

No comments:

Post a Comment