Oleh: Henderikus Dasrimin
Konsep
Ki
Hadjar Dewantara:
“Pendidikan adalah daya-upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intelek) dan tubuh anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan
keselarasan dengan dunianya”.
Taksonomi Bloom:
Klasifikasi
domain hasil pembelajaran yang menjadi acuan dalam mengembangkan dan
pembaharuan kurikulum dapat dibagi ke
dalam tiga domain, yaitu:
a. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang
berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti
pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
b. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi
perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat,
sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
c. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi
perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan
tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
a. Ranah
kognitif.
Ranah kognitif adalah ranah yang
mencakup kegiatan mental (otak). Dalam ranah kognitif ini terdapat enam aspek
atau jenjang proses berpikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang
yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah:
1. Pengetahuan
(Knowledge). Merupakan kemampuan menyatakan kembali fakta,
konsep, prinsip, prosedur atau istilah yang telah dipelajari (recall data or
information). Tingkatan ini merupakan tingkatan yang paling rendah namun
menjadi prasyarat bagi tingkatan selanjutnya. Kemampuan yang dimiliki hanya
kemampuan menangkap informasi kemudian menyatakan kembali informasi tersebut
tanpa memahaminya.
2. Pemahaman (Comprehension). Pada tingkatan
ini, selain hafal, siswa juga harus memahami makna yang terkandung, misalnya
dapat menjelaskan suatu gejala, dapat menginterpretasikan grafik, bagan atau
diagram serta dapat menjelaskan konsep atau prinsip dengan kata-kata
sendiri.
3. Penerapan
(Application). Merupakan kemampuan untuk menggunakan konsep dalam situasi
baru atau pada situasi konkret. Tingkatan ini merupakan jenjang yang lebih
tinggi dari pemahaman. Kemampuan yang diperoleh meliputi kemampuan untuk
menerapkan prinsip, konsep, teori, hukum maupun metode yang dipelajarinya dalam
situasi baru.
4. Analisis (Analysis). Merupakan
kemampuan untuk memilah materi atau konsep ke dalam bagian-bagian sehingga
struktur susunannya dapat dipahami. Dengan analisis diharapkan seorang siswa
dapat memilah integritas menjadi bagian-bagian yang lebih rinci atau lebih
terurai dan memahami hubungan-hubungan bagian-bagian tersebut satu sama
lain.
5. Sintesis (Synthesis). Merupakan
kemampuan untuk mengintegrasikan baian-bagian yang terpisah menjadi suatu
keseluruhan yang terpadu. Kemampuan ini misalnya dalam merencanakan eksperimen,
menyusun karangan, menggabungkan objek-objek yang memiliki sifat sama ke dalam
suatu klasifikasi.
6. Evaluasi (Evaluation). Merupakan
kemampuan untuk membuat pertimbangan (penilaian) terhadap suatu situasi,
nilai-nilai atau ide-ide. Kemampuan ini merupakan kemampuan tertinggi dari
kemampuan lainya.
b. Ranah
efektif
1) Penerimaan
(Receiving/Attending). Kesediaan untuk menyadari adanya suatu fenomena di
lingkungannya. Dalam pengajaran bentuknya berupa mendapatkan perhatian,
mempertahankannya, dan mengarahkannya.
2) Tanggapan
(Responding). Memberikan reaksi terhadap fenomena yang ada di
lingkungannya. Meliputi persetujuan, kesediaan, dan kepuasan dalam memberikan
tanggapan.
3) Penghargaan
(Valuing). Berkaitan dengan harga atau nilai yang diterapkan pada suatu
objek, fenomena, atau tingkah laku. Penilaian berdasar pada internalisasi dari
serangkaian nilai tertentu yang diekspresikan ke dalam tingkah laku.
4) Pengorganisasian
(Organization) Memadukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik di
antaranya, dan membentuk suatu sistem nilai yang konsisten.
5) Pembentukan
Pola Hidup. Memiliki sistem nilai yang mengendalikan tingkah-lakunya
sehingga menjadi karakteristik gaya-hidupnya. Krathwohl, Bloom dan Masia
(1964), membagi ranah afektif ini dalam lima tingkatan mulai dari pengenalan,
pemberian respon, penghargaan terhadap nilai-nilai, peng-organisasian, dan
pengalaman.
c. Ranah Psikomotorik (Psychomotor
Domain)
Ranah psikomotor adalah kemampuan
yang dihasilkan oleh fungsi motorik manusia yaitu berupa keterampilan untuk
melakukan sesuatu. Keterampilan melakukan sesuatu tersebut, meliputi
keterampilan motorik, keterampilan intelektual, dan keterampilan sosial.
Klasifikasi ranah psikomotor
dijabarkan sebagai berikut.
a. Peniruan (Imitation) adalah mengamati perilaku dan
pola setelah orang lain. Kinerja mungkin kualitas rendah.
b. Penggunaan (Manipulation) adalah mampu melakukan
tindakan tertentu dengan mengikuti instruksi dan berlatih.
c. Ketepatan (Precision) adalah mengulangi pengalaman
serupa agar menuju perubahan yang ke arah yang lebih baik.
d. Perangkaian (Articulation) adalah koordinasi
serangkaian tindakan, mencapai keselarasan dan konsistensi internal.
e. Naturalisasi (Naturalitation): Setelah kinerja
tingkat tinggi menjadi alami, tanpa perlu berpikir banyak tentang hal
itu.
Kesimpulan: Dari
dua konsep di atas maka dalam dunia pendidikan modern saat ini, meskipun
berbeda secara substansial, konsep trisakti jiwa bisa diselaraskan dengan upaya
memfasilitasi seluruh potensi peserta didik dalam perkembangan belajarnya yang
meliputi: aspek
kognitif (pengetahuan/pemahaman), aspek afektif (sikap atau
minat), dan sikap psikomotorik (keterampilan). Pendidikan yang humanis menekankan
pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih
manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh dan berkembang (menurut
Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan
daya karsa (psikomotorik). Maka kedua
konsep ini tidak bertentangan satu sama lain.
Konsep Ki Hadjar Dewantara dengan Program Full Day School
Pendidikan
dengan sistem full day school adalah sebuah sistem pembelajaran yang
dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar yang dilakukan sehari penuh dengan
memadukan sistem pembelajaran secara intensif dengan memberikan tambahan waktu
khusus untuk pendalaman selama lima hari dan sabtu diisi dengan relaksasi atau
kreativitas (Peter
Salim, 1998).
Secara umum,
sekolah full day didirikan untuk mengakomodir berbagai permasalahan yang
ada di masyarakat, yang menginginkan anak mereka mendapatkan pendidikan terbaik
baik dari aspek akademik dan non akademik serta memberikan perlindungan bagi
anak dari pergaulan bebas. Secara rinci sekolah full day didirikan
karena adanya tuntutan diantaranya: Pertama, minimnya waktu orang tua di
rumah karena tingginya tuntutan kerja. Orang tua akan memberikan kesibukan pada
anaknya sepulang sekolah dengan jaminan keamanan dan manfaat yang banyak. Lain
halnya jika orang tua kurang memperhatihan masalah anak, maka yang terjadi
adalah anak akan mencari kegiatan negatif tanpa kendali bahkan bisa jadi anak
akan terjebak dalam lingkungan pergaulan sosial yang buruk. Kedua,
perlunya pengawasan terhadap segala kebutuhan dan keselamatan anak, terutama
bagi anak di usia dini selama orang tua bekerja. Ketiga, perlunya
formalisasi jam-jam tambahan keagamaan karena dengan minimnya waktu orang tua
di rumah maka secara otomatis pengawasan terhadap hal tersebut juga minim. Keempat,
perlunya peningkatan kualitas pendidikan sebagai solusi berbagai permasalahan
bangsa saat ini (Marfiah
Astuti, 2013).
Banyaknya waktu
di sekolah bersistem
full day school
memungkinkan para staf guru untuk
merancang kurikulum yang dikembangkan. Hal
ini dimaksudkan selain materi yang menjadi
kewajiban untuk diajarkan sesuai peraturan pemerintah, terbuka juga kesempatan untuk
menambahkan materi lain yang dipandang sesuai dan relevan dengan visi-misi
lembaga pendidikan tersebut. Full day school merupakan program
pendidikan dimana
seluruh aktivitasnya berada di sekolah dengan memiliki ciri-ciri integrated activity dan integrated curriculum. Melalui model
pendekatan seperti ini seluruh
program dan aktivitas anak di sekolah mulai dari belajar, bermain, makan, dan ibadah di kemas
dalam suatu sistem pendidikan. Dengan sistem ini diharapkan pendidikan akan mampu
menghasilkan karakter yang religius, terampil,
humanis, dimana semuanya telah terangkum
dalam tujuan integrated education. Full day school merupakan
terjemah dari konsep effective school yang
dimaksudkan untuk menciptakan atau menyiasati
lingkungan yang efektif serta
produktif untuk berlangsungnya proses pendidikan peserta didik, sebagai konsekuensinya
anak-anak diberi waktu lebih banyak di lingkungan sekolah (Wiwik Sulistyaningsih, 2008).
Peran lembaga
pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai berkarakter terhadap peserta didik
menjadi tugas mulia yang harus didukung dengan berbagai cara. Upaya yang
dilakukan pendidikan diantaranya bekerjasama dengan masyarakat, stake
holder, orang tua, dan pengguna lembaga pendidikan lain. Orang tua yang
memiliki banyak kesibukan tentunya akan mempercayakan pendidikan dan pengasuhan
anaknya terhadap lembaga pendidikan yang secara intensif mampu memberikan
pelayanan secara maksimal terhadap putra-putrinya. Lembaga Pendidikan yang
menerapkan metode full day school
akan menjadi jawaban bagi orang tua atau pengguna lembaga pendidikan yang
menginginkan putra-putrinya memiliki kecakapan, ketrampilan, kecerdasan,
kemampuan, sikap, etika, moral, ahklak, serta nilai-nilai religius yang selalu tercermin pada tiap langkah kehidupannya yang
secara tidak langsung merupakan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia akan
terpatri dalam perilaku peserta didik melalui full day school.
Pada penelitian
terdahulu yang membahas tentang fullday school telah dilakukan oleh
Andikurrahman (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Dampak Pelaksanaan Full
Day School ter-hadap Perkembangan Sosial Peserta Didik (Studi Kasus di SD Plus
Nurul Hikmah Pamekasan). Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa SD Plus Nurul
Hikmah Pamekasan merupakan salah satu sekolah yang menerapkan model full day school. Di sana anak didik
diberi waktu lebih banyak di lingkungan sekolah. Dari hasil penelitian
diperoleh kesimpulan bahwa: 1) Dampak pelaksanaan full day school terhadap
perkembangan sosial peserta didik di SD Plus Nurul Hikmah Pamekasan adalah:
kurangnya interaksi sosial pada peserta didik, kurangnya rasa percaya diri pada
peserta didik, dan rendahnya kepekaan sosial pada peserta didik; 2) upaya yang
dilakukan dalam mengatasi permasalahan tersebut adalah: peserta didik
dibiasakan bertegur sapa setiap bertemu dengan guru, teman maupun orang tuanya,
menjalin kerjasama dengan wali murid, diadakan studi banding ke sekolah lain,
diadakan pertemuan secara berkala di rumah peserta didik secara bergantian, peserta
didik dibisaakan shalat Dhuha, Dhuhur dan Asar secara berjamaah ketika di
sekolah.
Sedangkan dalam
penelitian yang dilakukan Dina (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh
Full Day School Terhadap Kecerdasan Sosial Anak Kelas IV di SDIT Bina Anak
Sholeh Yogyakarta dijelaskan bahwa pendidikan atau sekolah dengan Sistem
full day school kian diminati. Alasan yang bisaa muncul adalah karena waktu
belajar di sekolah lebih panjang. Konsep ini dianggap mampu mengembangkan
kreativitas dan keilmuan anak didik secara lebih tepat, sehingga hal tersebut
dapat meningkatkan kecerdasan sosial anak. Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan pertama, sistem pembelajaran full day school yang
dikembangkan di SDIT Bina Anak Shaleh Yogyakarta memiliki ka-rakteristik
pendidikan antara lain Akhlak Aplikatif, Learning by Doing, Habit Forming,
Life Curri-culum dan Leadership Life Skiil. Kedua, tingkat kecerdasan
sosial anak SDIT Bina Anak Shaleh Yogyakarta dikategorikan sedang, Hal itu
dikarenakan masih nampak perilaku sosial anak kelas IV yang memang dinilai
kurang tepat. Ketiga, terdapat korelasi positif yang sangat signifikan antara full
day school dan kecerdasan sosial anak (Marfiah
Astuti, 2013).
Kesimpulan:
Full day school merupakan
program pendidikan dimana
seluruh aktivitasnya berada di sekolah dengan memiliki ciri-ciri integrated activity dan integrated curriculum. Melalui model
pendekatan seperti ini seluruh
program dan aktivitas anak di sekolah mulai dari belajar, bermain, makan, dan ibadah di kemas
dalam suatu sistem pendidikan. Dengan sistem ini diharapkan pendidikan akan mampu
menghasilkan karakter yang religius, terampil,
humanis, dimana semuanya telah terangkum
dalam tujuan integrated education.
Program
full day school
diharapkan dapat menghasilkan outpun peserta didik
yang memiliki memiliki
kecakapan, ketrampilan, kecerdasan, kemampuan, sikap, etika, moral, ahklak,
serta nilai-nilai religius yang selalu tercermin pada tiap langkah
kehidupannya. Maka tujuan dari program full day school pada hakikatnya tidak bertentangan dengan apa yang
dimaksudkan oleh Ki Hadjar Dewantara tentang: “Pendidikan
adalah daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh
anak, dalam rangka kesempurnaan hidup dan keselarasan dengan dunianya”. Sekalipun sebagai kelemahan, program ini juga dinilai
kurang memperhatikan aspek psiko-sosial anak. Anak seakan “dipaksa” untuk lebih
banyak waktu untuk belajar di sekolah dan mengurangi saat bermain anak di rumah
dan lingkungannya yang sebenarnya juga memiliki pengaruh pada relasi sosial
anak di tengah keluarga dan masyarakat.
No comments:
Post a Comment