ANALISIS KEBIJAKAN PROGRAM KELAS SISWA CERDAS ISTIMEWA (SCI) DI SEKOLAH MENENGAH ATAS - Dasriminocarm

Dasriminocarm

BLOG INI BERISI TULISAN YANG BERKAITAN DENGAN TEMA PENDIDIKAN. TULISAN DISAJIKAN DALAM BENTUK ARTIKEL, MAKALAH, REVIEW, RESUME DAN SEJENISNYA

Breaking

SELAMAT DATANG DI DASRIMINOCARM CHANEL

Selamat Datang Di Dasriminocarm Chanel

5 Postingan Paling Populer Dibaca

Ketik kata kunci di sini

Monday, May 21, 2018

ANALISIS KEBIJAKAN PROGRAM KELAS SISWA CERDAS ISTIMEWA (SCI) DI SEKOLAH MENENGAH ATAS





Henderikus Dasrimin
Program Studi Manajemen Pendidikan Pascasarjana
Universitas Negeri Malang, Indonesia, email: dasrimino.carm@gmail.com


Abstract: The purpose of this research is to know the implementation of Special Smart Student (SCI) program at SMAK St. Albertus Malang. Furthermore, researchers will make a policy analysis or evaluate the implementation of the program. This research method using qualitative approach, by using model of formulative evaluation. The results show that schools have implemented SCI programs and continue to make improvements. There needs to be an ongoing effort to pay attention to the psychological, sociological and spiritual aspects of the student, in addition to the intellectual aspects of his intellect.

Keywords: Special Smart Students (SCI), learning, schooling, education.   

Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi program Siswa Cerdas Istimewa (SCI) di SMAK St. Albertus Malang. Selanjutnya peneliti akan membuat analisis kebijakan atau mengevalusi implementasi program tersebut. Metode penelitan ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan model evaluasi formulatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa sekolah telah menerapkan program SCI berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12 ayat (1) butir (b) dan (f). Sekolah telah berusaha melakukan pembenahan untuk penyempurnaan program ini. Sebagai sebuah sekolah unggul, perlu ada upaya yang terus-menerus dilakukan untuk meningkatkan kualitas sekolah yang tidak hanya menekankan aspek akademis atau kecerdasan intelektual, tetapi juga memberi perhatian pada aspek psikologis, sosiologis, spiritual dan karakter.

Kata Kunci: Siswa Cerdas Istimewa (SCI), belajar, sekolah, pendidikan.


Pendahuluan
Siswa cerdas istimewa adalah siswa dengan IQ yang tinggi (Feldhusen, 2005;Gordon dan Bridglall, 2005; Sword, 2001) dan mendapatkan prestasi akademik di bidang matematika dan membaca (Borland, 2005; Cochran, 2009). Dikatakan sebagai siswa luar biasa, karena para siswa tersebut memiliki kondisi yang menyimpang dari siswa normal dalam hal kapasitas intelektual, yakni di atas rata–rata dan secara sig­nifikan juga memiliki perbedaan dalam beberapa dimensi yang penting dalam fungsi kemanusiaannya (Feldhusen, 2005; Gordon dan Bridglall, 2005; Sword, 2001), prestasi akademik yang lebih besar/lebih unggul dibandingkan dengan siswa normal seusianya (Mangunsong, 2009; Schanella dan Mc Carthy, 2009), memiliki kemampuan yang besar dalam hal menerima berbagai macam pengetahuan, daya ingat yang kuat, serta keingintahuan yang besar. (Sugiarti & Suhariadi, 2015).
Indonesia memiliki sekitar 1,3 juta anak usia sekolah sebagai siswa cedas istimewa. Renstra Ditjen Dikmen 2010-2014 menunjukkan, bahwa berdasarkan klasifikasi IQ Wechsler anak Indonesia yang ter­golong cerdas istimewa / sangat unggul dengan IQ 130 keatas sebanyak 2,2% dari total populasi. Tahun 2010 tercatat jumlah peserta didik sekolah menengah berjumlah 9.112.792 jiwa. Sebanyak 2,2 persen atau sekitar 4.118 orang di antaranya tergolong sangat unggul atau cerdas istimewa, dan baru sekitar 0,43 persen saja yang mendapatkan pendidikan dalam kelas-kelas akselerasi (Permen PP&PA No. 10. Th 2011).
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departmen Pendidikan Nasional menerbitkan Pedoman Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar tahun 2003 yang menjelaskan bahwa program percepatan (akselerasi) adalah pemberian pelayanan pendidikan sesuai dengan potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang dimiliki siswa, dengan memberi kesempatan kepada mereka untuk dapat menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang lebih singkat (Depdiknas, 2003). Hal ini ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12. Berdasarkan amanat undang-undang tersebut beberapa sekolah di antaranya adalah SMAK St. Albertus Malang telah menyelenggarakan program kelas percepatan (akselerasi), kelas Siswa Cerdas Istimewa (SCI) atau yang dikenal juga dengan kelas unggulan.
Pada dasarnya, Supriyono (2009) menyatakan bahwa, “kelas unggulan adalah suatu kelas yang dikembangkan untuk mencapai keunggulan dalam proses dan hasil pendidikan bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat yang istimewa“. Dari pengertian tersebut, maka dapat diartikan adanya pengelompokkan kepada kelas tertentu bagi siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dibandingkan teman yang lainnya.
Menurut Felhusen, Proctor dan Black (dalam Hawadi, 2004), akselerasi diberikan untuk memelihara minat siswa terhadap sekolah, mendorong siswa agar mencapai prestasi akademis yang baik dan untuk menyelesaikan pendidikan dalam tingkat yang lebih tinggi bagi keuntungan dirinya maupun masyarakat. (Putri, 2016). Di lain pihak, beberapa penelitian membuktikan bahwa siswa cerdas istimewa, ditemukan memiliki problem dalam menempatkan perilaku yang tepat sesuai dengan konteks sosialnya. Siswa cerdas istimewa dibekali den­gan kemampuan perkembangan yang lebih besar dan cenderung lebih aktif (overexcitability) dibandingkan dengan siswa normal pada umumnya, baik dari sisi fisik, intelektual, imajinasi maupun emosional. (Sugiarti & Suhariadi, 2015).
Penyelenggaraan kelas unggulan tersebut telah menimbulkan pro dan kontra di dalam lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah, termasuk pro dan kontra antar siswa itu sendiri. Pendapat yang kontra dengan munculnya kelas unggulan beranggapan bahwa dengan kelas unggulan dikhawatirkan menimbulkan dampak negatif pada peserta didik. Keberadaan kelas unggulan dapat memisahkan anak dari kehidupan alamiah yang ada di sekelilingnya sehingga akan mengalami keterlambatan dalam bersosialisasi. (Karim, n.d.).
Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti tertarik untuk mencoba menganalisis atau mengevaluasi implementasi program kelas Siswa Cerdas Istimewa (SCI) yang selama ini sudah diterapkan di SMAK St. Albertus Malang. Dengan kajian penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran untuk mendukung atau mengkritisi program tersebut.

Kandungan Kebijakan
            Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12 ayat (1) butir (b) menyatakan: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dam kemampuannya”. Selanjutnya dalam butir (f) dinyatakan: “Peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak menyelesaikan pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan”.
Berdasarkan undang-undang tersebut, maka SMAK St. Albertus Malang menyediakan 3 pilihan peminatan yaitu IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) dan Bahasa. Untuk peminatan IPA dan IPS disediakan menu 6 semester yang terdiri dari dua palet, yaitu Paket 1 dan Paket 2, menu 5 semester (percepatan) dan menu 4 semester (Siswa Cerdas Istimewa). Jadi, selain menerapkan paket reguler seperti pada sekolah-sekolah umum lainnya, SMAK St. Albertus Malang juga menyediakan paket lain, di antaranya adalah paket SCI.

Teori Pendukung atau Teori Pembantah
Penelitian terhadap siswa cerdas istimewa mulai terlihat nyata pada akhir abad kesembilan belas (Borland, 2005; Robinson dan Clinkenbeard, 1998; Stoeger, 2009). Petunjuk adanya perhatian tentang cerdas istimewa menurut Spearman (1904; S toeger, 2009) diawali ketika Galton pada 1883 menemukan adanya faktor genetika yang dapat menunjukkan perbedaan kemampuan. Para ilmuwan mulai mengukur talenta dan bakat, dan memahaminya sebagai fondasi prestasi khusus dan menyamakan siswa berbakat sebagai siswa dengan kapasitas intelektual yang tinggi (Hurts, 1932; Stoeger, 2009).
Cerdas istimewa menjadi suatu topik perhatian khusus di dunia pendidikan ketika Lewis M . Terman pada awal abad ke-19 memperkenalkan konsep tes mental di sekolah-sekolah di Amerika. Terman menguji apakah inteligensi yang tinggi berkorelasi dengan fungsi fisik, dan prestasi yang khusus berhubungan dengan ketidakseimbangan emosi (Keating, 1975; S toeger, 2009) . Hasil penelitian Terman menunjukkan bahwa siswa cerdas istimewa tidak berarti menunjukkan prestasi yang tinggi. Di sisi lain, siswa dengan kapasitas intelektual rata–rata justru memperlihatkan kesehatan mental yang lebih sehat, pencapaian prestasi akademik yang lebih baik, berperilaku lebih baik, dan lebih menunjukkan karakter moral dan emosional yang bermanfaat (Roedell, 1984; Stoeger, 2009).
            Roedell (1984) menyebutkan bahwa siswa cerdas istimewa memiliki ciri-ciri perkembangan yang rentan dan kesulitan di beberapa area. Area tersebut meliputi perkembangan yang tidak umum, perfeksionis, sensitivitas tinggi, self yang tinggi, harapan yang tinggi, terisolasi, kurang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan mengalami konflik peran. Keinginan untuk melihat sesuatu secara akurat, tepat, serta presisi berpikir dan berekspresi menyebabkan siswa cerdas istimewa menjadi argumentatif dan bisa mengalami konflik sosial (Sword, 2001).
Sebagai pemikir analitis, siswa cerdas istimewa unggul dalam berpikir kritis, dapat memecahkan berbagai hal dalam pikiran mereka dan menyatukan kembali dengan cara yang rumit. Kesadaran diri yang mendalam dan terfokus pada diri sendiri cenderung menjadikan siswa cerdas istimewa khawatir dan menjadi sangat kritis terhadap diri mereka sendiri. Kompleksitas intelektual yang berbeda dari teman sebayanya dapat menciptakan ketegangan batin yang besar bagi siswa cerdas istimewa. (Sugiarti & Suhariadi, 2015). Siswa cerdas istimewa merasa berbeda, tidak pada tempatnya atau tidak sama dengan siswa lainnya, sehingga dapat mengalami perasaan isolasi dan kesepian. Ketegangan internal tercermin dalam kesulitan penyesuaian eksternal seperti kurangnya kesesuaian dengan harapan budaya berdasarkan usia kronologis dan mengalami masalah dalam berhubungan dengan teman sebayanya (Silverman 1993). Siswa cerdas istimewa rentan mengalami permasalahan psikososial, di antaranya adalah kesulitan dalam menjalin relasi sosial dengan teman sebaya, perilaku sosial yang tidak adekuat, masalah perilaku dan penyesuaian sosial di sekolah yang buruk (Schwean, 2006).
Sebaliknya, penelitian Lee, dkk, (2012) menunjukkan bahwa siswa cerdas istimewa memiliki kemampuan interpersonal dan pertemanan yang lebih baik dibandingkan dengan siswa normal pada umumnya. Lebih lanjut, setiap anak seharusnya mendapat pengalaman belajar sesuai dengan kebutuhan, kondisi, kemampuan dan minat serta kecepatannya, untuk berkembang seoptimal mungkin.(Ofianto, 2015). Milgram (dalam Hawadi, 2002: 20) menyatakan anak didik berbakat intelektual sebenarnya sama dengan anak luar biasa lainnya yang mengalami gangguan, misal penglihatan, buta, tuli, ke-sulitan belajar, dan keterbelakangan mental, di mana mereka membutuhkan bantuan untuk mengembangkan potensinya. Untuk itu diperlukan layanan pendidikan khusus yang memung-kinkan kebutuhan itu dapat terpenuhi.
Menurut Tangyong (dalam Hawadi, 2002: 21), jika tidak diberikan layanan yang sesuai dalam proses belajar mengajar, kesulitan akan timbul pada kelompok anak didik yang berada pada kategori di bawah normal yang pada distribusi normal terletak diujung kiri, dan pada mereka yang disebut kelompok atas normal yang terletak di ujung kanan, termasuk didalamnya anak berbakat intelektual. Barbara Clark (1983: 132-134) menyatakan ada beberapa alasan pentingnya diberikan layanan kepada anak berbakat intelektual, antara lain: 1) lingkungan belajar yang sesuai dapat mendukung ber-kembangnya kapasitas atau potensi seseorang, 2) pendidikan yang memperlakukan secara sama untuk semua siswa adalah pendidikan yang telah mengingkari adanya hak perkem-bangan pendidikan yang cocok bagi anak berbakat intelektual, 3) memberikan keadilan kepada siswa yang memiliki bakat intelektual seperti halnya mereka yang memiliki keterbatasan, 4) diharapkan dengan fasilitas yang ada maka potensi anak akan terkelola secara maksimal.
Berikut ini adalah beberapa praktek yang ditemukan dalam penyelenggaraan program akselerasi (Astutik, 2012):
Pertama: Pemenuhan kebutuhan pendidikan Siswa Cerdas Istimewa sebagai arena reproduksi kelas. Program akselerasi seharusnya memang layak diberikan kepada peserta didik yang memiliki kualifikasi dalam taraf cerdas istimewa. Untuk menyelenggarakan program akselerasi, sekolah penyelenggara harus memenuhi beberapa persyaratanformal agar akselerasi berjalan sesuai dengan tujuan. Persyaratan formal itu antara lain seperti sarana prasarana baik teknis maupun non teknis. Dengan beberapa persyaratan tersebut, sekolah penyelenggara tentu membutuhkan banyak dana dalam proses penyelenggaraannya, oleh karena itu dari pihak sekolah sendiri tidak menjalankan dan memenuhi beberapa persyaratan formal tersebut. Dengan keterbatasan sekolah memenuhi segala sarana dan prasarana yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, maka dalam penyelenggaraannya sekolah cenderung menjadikan kemampuan orang tua dalam kemampuan pembayaran sebagai salah satu syarat untuk masuk dalam kelas akselerasi.
Alih-alih untuk memfasilitasi siswa melalui uang sumbangan yang sudah diberikan, mendorong orang tua dari calon peserta didik untuk memberikan sumbangannya secara suka rela kepada sekolah secara bersaing.Ambisi yang besar untuk menyekolahkan anak dalam kelas akselerasi menyebabkan orang tua bersedia untuk memenuhi segala persyaratan yang sudah ditentukan.Dengan keadaan seperti ini sekolah cenderung melegitimasi adanya praktek tawar menawar kelas akselerasi dengan menggunakan uang. Dengan keadaan demikian, tentu saja hanya bisa dilakukan oleh masyarakat dalam lapisan atas, sehingga persaingan ini akan memperlihatkan bahwa dalam sekolah pun juga terdapat lapisan kelas yang menurut Giroux dapat dikatakan bahwa dalam program akselerasi terdapat reproduksi kelas.
Reproduksi kelas terjadi dalam program akselerasi karena untuk masuk dalam kelas akselerasi adalah siswa yang memiliki kemampuan dalam hal biaya, sedangkan bagi siswa yang kurang mampu akan tetapi memiliki kecerdasan lebih menjadi terabaikan. Program akselerasi yang pada dasarnya diperuntukkan untuk siswa cerdas istimewa, bergeser untuk siswa yang mamiliki kemampuan dalam hal biaya.
Kedua: Akselerasi sebagai konstruksi kurikulum yang melahirkan ketidaksetaraan dan Ketidakadilan. Sekolah sebagai penyelenggara program akselerasi menurut Giroux dapat dilihat sebagai wujud kurikulum yang dikonstruksi dengan ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Jika dilihat dari masukan seperti calon peserta didik yang tidak memenuhi kriteria, karena berdasarkan data meskipun dilakukan beberapa tes, akan tetapi tes hanya dijadikan sebagai formalitas, kemudian dari guru sendiri yang juga tidak melalui seleksi dan tes, kemudian kurikulum, materi, metode serta evaluasi yang tidak jauh berbeda dengan program reguler yang ada, sekolah justru melanggengkan dan melegitimasi batas kelas antara program akselerasi dengan program reguler.
            Lebih jauh lagi, pada kenyataannya siswa yang ada dalam kelas akselerasi adalah siswa yang tidak memiliki kualifikasi untuk masuk dalam kelas akselerasi, akan tetapi mereka memiliki kelebihan dalam hal materi, maka yang terjadi adalah ketidakadilan kepada peserta didik yang benar-benar memiliki kecerdasan lebih akan tetapi memiliki keterbatasan dalam hal materi. Siswa yang benar-benar memiliki kecerdasan istimewa idealnya adalah sasaran program akselerasi, akan tetapi keadaan demikian menjadi terbalik ketika sekolah mewajibkan peserta didik untuk membayar biaya sumbangan kepada sekolah. Siswa yang memiliki kecerdasan lebih dan kekurangan dalam hal biaya akan terabaikan dan terabaikan. Sekolah sebagai tempat reproduksi kelas seperti yang sudah dijelaskan pada sub bab 1, justru
mendukung adanya ketidakadilan ini sebagai hasil dari reproduksi kelas atas, yakni masyarakat yang mampu.
Ketiga: Program akselerasi hanya sebagai tradisi. Berdasarkan data lapangan yang ada, banyak hal yang tidak dapat dipenuhi sekolah dalam penyelenggaraan kelas akselerasi, misalnya tidak ada bimbingan psikologis baik dalam identifikasi anak cerdas maupun penyelenggaraannya, tidak ada evaluasi dalam penyelenggaraan program akselerasi, tidak ada persiapan dalam mempersiapkan tenaga pengajar dalam kelas akselerasi, kemudian yang terakhir adalah tidak berjalannya program akselerasi secara sistematis, yang ditandai dengan tidak adanya monitoring dan evaluasi dalam hal pendanaan dalam penyelenggaraannya. Keadaan ini dapat dilihat bahwa akselerasi berjalan hanya sebagai sebuah program yang dijalankan sekolah sebagai aktivitas rutin semata, karena pada kenyataannya ketentuan-ketentuan yang semestinya dijalankan dalam program akselerasi dalam implementasinya tidak terpenuhi dan tidak pula berbeda dengan kelas reguler. Akselerasi hanya sebuah nama bahwa sekolah memiliki identitas sebagai sekolah penyelenggara akselerasi, akan tetapi pada penyelenggaraannya akselerasi berjalan hanya sebatas pada waktu percepatan belajar yang pada umumnya 3 tahun menjadi 2 tahun, kemudian setelah siswa lulus, siswa direkomendasikan ke berbagai PTN yang ada. Setelah proses ini, sekolah selesai dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pendidikan. Akselerasi yang sudah berjalan tidak memiliki tujuan yang jelas, karena hanya berkutat pada waktu belajar yang dipercepat dan biaya yang relatif lebih mahal dibanding dengan kelas reguler.
Keempat: Akselerasi sebagai pendukung kapitalisme modern melalui pasar kerja. Menurut Giroux, kapitalisme dipandang mengorganisasi pendidikan secara massal sesuai dengan kepentingan kelas kapitalis, dalam hal ini program akselerasi misalnya. Selama ini program akselerasi yang berjalan hanyalah sebatas pendidikan yang tujuannya adalah untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi siswa yang memiliki kecerdasan istimewa bergeser peran dengan mempersiapkan para peserta didik yang dibentuk dengan ilmu pengetahuan dengan mengikuti perkembangan teknologi. Tujuan nantinya adalah untuk memenuhi kebutuhan para kapitalisme, dalam hal ini industri.
Akselerasi mendidik siswa dengan waktu relatif cepat, akan tetapi dalam hal kualitas lulusan tidak berbeda dengan kelas reguler, karena dalam input yang diberikan juga sebenarnya tidak berbeda dengan input dalam kelas reguler. Sekolah juga melanggengkan kapitalisme dalam pendidikan dengan memberikan keahlian yang mendukung peserta didik untuk masuk dalam dunia kapitalisme, misalnya pemberian materi TOEFL dan komputer misalnya yang merupakan salah satu syarat penting dalam dunia industri.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka program percepatan belajar memiliki kekurangan dan kelebihan diantaranya (Hawadi, 2002: 21) menyatakan kelebihannya: a) meningkatkan efisiensi, b) meningkatkan efektivitas belajar, c) penghargaan yang tinggi terhadap siswa, d) meningkatkan waktu untuk meniti karier, dan e) membuka siswa pada kelompok yang baru dengan kemampuan akademis sama. Sedangkan kelemahannya menurut Southern dan Jones (dalam Hawadi, 2002) adalah a) bidang akademik siswa kurang matang secara emosional maupun fisik, kurang memiliki pengalaman, kurang mampu ber-adaptasi dengan lingkungan yang baru, bisa saja karir tidak sesuai dengan keinginannya, b) bidang penyesuaian sosial kesempatan untuk bersosialisasi terhadap teman sebaya kurang karena banyaknya waktu terkuras untuk belajar, c) kurang partisipasi terhadap kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler, dan d) penyesuaian sosial yang kurang. (Ofianto, 2015).

Metode Analisis
Penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian evaluasi dengan pendekatan kualitatif, yakni untuk mengevaluasi proses penyelenggaraan program kelas Siswa Cerdas Istimewa (SCI) di SMAK St. Albertus Malang. Model evaluasi yang digunakan adalah model evaluasi yang dikembangkan oleh Scrven yaitu evaluasi formatif.(Ofianto, 2015). Hal ini didasarkan bahwa program percepatan belajar untuk SCI ini sedang dilaksanakan. Dengan evaluasi formatif ini diharapkan dapat diperoleh informasi penting terkait dengan keterlaksanaan program percepatan belajar SCI di SMAK St. Albertus Malang. Dalam penelitian ini kriteria dikembangkan sesuai dengan karakteristik program percepatan belajar, melalui kajian pustaka program percepatan belajar SCI yang disusun oleh Depdiknas. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan studi dokumentasi.

Hasil Analisis Kebijakan
SMAK St. Albertus Malang menyediakan 3 pilihan peminatan yaitu IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) dan Bahasa. Untuk peminatan IPA dan IPS disediakan menu 6 semester yang terdiri dari dua palet, yaitu Paket 1 dan Paket 2, menu 5 semester (percepatan) dan menu 4 semester (Siswa Cerdas Istimewa).
Menu 6 semester Paket 1,2 dan menu 5 semester memfasilitasi peserta didik lulus dalam 6 semester, sedangkan menu 4 semester (SCI) memfasilitasi peserta didik lulus dalam waktu 4 semester. Peserta didik yang mengambil menu 5 semester mendapatkan kesempatan lebih banyak waktu untuk persiapan Ujian Nasional, Ujian Sekolah dan Ujian Masuk Perguruan Tinggi. Sedangkan untuk peminatan bahasa hanya disediakan satu menu 6 semester paket 1, namun tetap fleksibel untuk memfasilitasi peserta didik belajar sesuai dengan kecepatan belajarnya karena sudah tersedia Unit Kegiatan Belajar Mandiri (UKBM).
            Berikut ini adalah distribusi mata pelajaran dan bobot SKS pada peminatan IPA menu 5 semester (percepatan) dan menu 4 semester (SCI):
            Tabel 1. Distribusi mata pelajaran dan bobot SKS
No.
Mata Pelajaran
Struktur Kurikulum 2013
Menu 5 semester (Percepatan)
Menu 4 semester (SCI)
Semester
Semester
Semester
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
1
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
3
3
3
3
3
3
2
+(1)
4
+(2)
4
+(2)

2
+(1)

2
+(1)
4
+(2)
4
+(2)
2
+(1)
2
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
2
2
2
2
2
2
2
4
4

2

2
4
4
2
3
Bahasa Indonesia
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
8

4
4
8
8
4
Matematika
4
4
4
4
4
4
4
8

4
8

4
8
4
8
5
Sejarah Indonesia
2
2
2
2
2
2
2
4
4

2

2
4
4
2
6
Bahasa Inggris
2
2
2
2
2
2
2
4

4
2

2
4
4
2
7
Seni Budaya
2
2
2
2
2
2
2
4

4
2

2
2
2
2
8
Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan
3
3
3
3
3
3
3
2
+(1)
2
+(1)
2
+(1)
2
+(1)
2
+(1)
3
2
+(1)
2
+(1)
2
+(1)
9
Prakarya dan Kewirausahaan
2
2
2
2
2
2
2
2
4

4

2
2
4
4
10
Matematika Peminatan
3
3
4
4
4
4
3
3
8
4
4

6
8
4
4
11
Biologi
3
3
4
4
4
4
3
7

8
4

6
4
8
4
12
Fisika
3
3
4
4
4
4
6

8
4
4

6
8
4
4
13
Kimia
3
3
4
4
4
4
6

4
8
4

6
4
4
8
14
Lintas minat/ Pendalaman minat
3
3
2
2
2
2
6
2
2
4


6

4
4
15
TOEFL Preparation
3
3
2
2
2
2
2
2
2
4
2

2
2
4
4
16
Bimbingan Konseling
-
-
-
-
-
-
1









Total jam pelajaran
42
42
44
44
44
44
50
+(1)
50
+(3)
46
+(3)
50
+(3)
50
+(3)
2
+(1)
56
+(1)
60
+(3)
64
+(3)
60
+(3)
Sumber: Buku Panduan Akademik SMAK St. Albertus Malang TP 2017/2018.

Catatan:
1. Pendidikan Agama dan Budi Pekerti: ditambah (1) sks berarti pembinaan life skill
2. Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan: ditambah (1) berarti pembinaan bela negara dan life skill.

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa total jam pelajaran untuk pemintan IPA menu 5 semester (percepatan) dan menu 4 semester (SCI) adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Total jam pelajaran menu 5 semester (percepatan) dan menu 4 semester (SCI).
Total
jam
pelajaran
Struktur
Kurikulum 2013
Menu 5 semester (Percepatan)
Menu 4 semester (SCI)
Semester
Semester
Semester
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
42
42
44
44
44
44
50
+(1)
50
+(3)
46
+(3)
50
+(3)
50
+(3)
2
+(1)
56
+(1)
60
+(3)
64
+(3)
60
+(3)

Sedangkan total jam pelajaran untuk peminatan IPA menu 6 semester Paket 1 dan 2 adalah seperti berikut:
      Tabel 3. Total jam pelajaran untuk peminatan IPA menu 6 semester Paket 1 dan 2

Total
jam
pelajaran
Struktur
Kurikulum 2013
Paket 1 (IPA 1,2,3)
Paket 2 (IPA 4,5,6)
Semester
Semester
Semester
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
42
42
44
44
44
44
50
+(1)
44
+(3)
44
+(1)
44
+(3)
48
+(3)
18
+(3)
50
+(1)
44
+(3)
44
+(3)
44
+(1)
48
+(3)
18
+(3)




















Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa beban belajar bagi SCI sangat tinggi. Dalam satu semester, total jam pelajaran bagi siswa SCI bisa sampai 56-64 jam, sedangkan siswa regular hanya sekitar 42-44 jam pelajaran. Hal ini yang oleh beberapa pendapat menyatakan bahwa SCI akan membebankan siswa. Namun di sisi lain ada yang berpendapat bahwa hal itu bukan menjadi beban bagi siswa karena mereka sudah terbukti memiliki kemampuan istimewa dibandingkan dengan siswa lainnya.
Layanan peserta didik menu 4 semester adalah layanan bimbingan dan pendampingan khusus bagi peserta didik yang telah diidentifikasi memiliki prestasi sangat memuaskan, dan oleh psikolog telah diidentifikasi memiliki kemampuan intelektual umum pada taraf cerdas, memiliki kreativitas dan keterikatan terhadap tugas di atas rata-rata, untuk dapat menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar mereka.
Lembaga pendidikan SMAK St. Albertus Malang membuat beberapa persyaratan bagi peserta didik yang akan mengikuti layanan menu 5 semester dan 4 semester. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
a)      Memiliki tingkat kecerdasan tinggi di atas rata-rata (Intelligence Quotient/IQ) secara konsisten;
b)      Memiliki riwayat belajar istimewa secara konsisten;
c)      Memiliki karakter mandiri, cepat memahami, gemar membaca, dan motivasi tinggi dalam belajar;
d)     Memiliki keingintahuan tinggi serta komitmen Task Commitment (TC) dan Creativity Quotient (CQ) tinggi dalam melaksanakan tugas; dan
e)      Memiliki prestasi akademik istimewa secara konsisten (tidak memiliki program remedial)
Program layanan peserta didik menu 4 semester dimulai di awal semester, sedangkan program layanan peserta didik menu 5 semester dimulai di semester 2. Dengan program 4 semester ini, peserta didik yang memenuhi kriteria dan secara konsisten dapat mempertahankan prestasinya akan dapat menyelesaikan beban belajarnya selama 2 tahun (4 semester).
Ada beberapa alternatif kebijakan jika sekolah memiliki SCI, antara lain:
a). SCI tidak dipisahkan dengan siswa lainnya.
b). SCI dipisahkan dengan siswa lainnya, tetapi jumlah semester dan total jam pelajaran tetap sama.
c). SCI dipisahkan dengan siswa lainnya dan lamanya pendidikan dipercepat (4 semester).
            Analisis kelebihan dan kekurangan dari beberapa alternarif di atas dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Analisis alternatif kebijakan bagi SCI
Alternatif
Keterangan
Keunggulan
Kelemahan





I
SCI tidak dipisahkan dengan siswa lainnya
*) SCI matang secara sosial dan emosional

*) SCI tidak dapat meningkatkan efektivitas belajar sesuai dengan kemamenmpuannya.
*) Tidak memberikan pelayanan pendidikan sesuai potensi kecerdasan istimewa yang dimiliki siswa




II
SCI dipisahkan dengan siswa lainnya, tetapi jumlah semester dan total jam pelajaran tetap sama (6 semester)
*) Beban belajar SCI diperingan dan bisa menggunakan waktu yang ada untuk bersosialisasi dengan teman sebaya.
*) Kecepatan belajar tidak sesuai kemapuan siswa.
*) Mengulur-ulur waktu yang seharusnya bisa digunakan oleh siswa untuk mempercepat waktu study dan karir.


III
SCI dipisahkan dengan siswa lainnya dan lamanya pendidikan dipercepat (4 semester)
*) Memberikan pelayanan pendidikan sesuai potensi kecerdasan istimewa yang dimiliki siswa
*) meningkatkan efektivitas belajar
*) meningkatkan waktu untuk meniti karier
*) SCI kurang matang secera sosial dan emosional

Dari beberapa alternatif tersebut, peneliti menawarkan agar memilih alternatif yang ketiga (III). Artinya bahwa peneliti mendukung program percepatan belajar SCI yang selama ini telah diimplementasikan di SMAK St. Albertus Malang, sambil tetap memperhatikan berbagai aspek pembinaan dan pendidikan karakter agar SCI memiliki kematangan dalam berbagai aspek.

Pembahasan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 memandatkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pasal tersebut secara tegas mengedepankan kepentingan peserta didik sebagai bagian penting dari komponen pendidikan.
Dalam kajian filosofisnya, peserta didik dipandang sebagai manusia seutuhnya yang unik, di mana mereka dipandang sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban. Dalam pendidikan, hak-hak peserta didik haruslah lebih dikedepankan daripada kepentingan lainnya. Peserta didik sebagai individu yang unik memiliki bakat, minat, kemampuan, dan gaya belajar yang berbeda. Setiap peserta didik harus mendapatkan layanan pendidikan masal untuk peserta didik secara individual (mass education of individual) bukan pendidikan individual bagi peserta didik masal (individual education of the mass) agar dapat berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing. Hal tersebut dipertegas dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 12 ayat (1) point b bahwa peserta didik berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan Pasal 19 ayat (1) disebutkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik, dan ayat (2) menegaskan bahwa beban belajar dapat dinyatakan dalam bentuk satuan kredit semester. Dalam kaitannya dengan ini, dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 12 ayat (1) point f menyatakan bahwa peserta didik dapat menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan. Dengan demikian, bakat, minat dan kecepatan belajar peserta didik sudah tidak dapat lagi diasumsikan sama.
            Undang-undang tersebut didukung oleh beberapa teori seperti yang dikemukakan sebelumnya, di antaranya adalah penelitian Ofianto (2015) yang mengemukakan bahwa setiap anak seharusnya mendapat pengalaman belajar sesuai dengan kebutuhan, kondisi, kemampuan dan minat serta kecepatannya, untuk berkembang seoptimal mungkin. Milgram (dalam Hawadi, 2002: 20) menegaskan bahwa SCI membutuhkan bantuan untuk mengembangkan potensinya yakni melalui layanan pendidikan khusus yang memungkinkan kebutuhan itu dapat terpenuhi. Jika tidak diberikan layanan yang sesuai dalam proses belajar mengajar, maka menurut Tangyong (dalam Hawadi, 2002: 21), kesulitan akan timbul pada anak berbakat intelektual.
            Temuan kebijakan di lapangan juga membuktikan bahwa program SCI masih cukup penting untuk lingkungan belajar yang sesuai dapat mendukung berkembangnya kapasitas atau potensi siswa. Program kelas SCI dapat menciptakan keadilan kepada siswa yang memiliki bakat intelektual dengan memberi peluang kepada anak untuk mengembangkan potensinya secara maksimal.

Penutup
Kesimpulan
Pertama: SMAK St. Albertus Malang telah mengimplementasikan program percepatan belajar SCI, pada bidang peminatan IPA dan IPS yang bisa ditempuh selama empat semester.
Kedua: Implementasi program percepatan belajar SCI memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antara lain adalah: a) memberikan pelayanan pendidikan sesuai potensi kecerdasan istimewa yang dimiliki siswa, b) meningkatkan efektivitas belajar, c) meningkatkan waktu untuk meniti karier. Sedangkan kelemahannya antara lain adalah: a) bidang akademik siswa kurang matang secara emosional maupun fisik, b) siswa kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan, c) kurang bersosialisasi terhadap teman sebaya karena banyaknya waktu terkuras untuk belajar, c) penyesuaian sosial yang kurang.

Rekomendasi
            Pertama: bagi siswa; agar tidak hanya fokus pada pengembangan aspek akademik saja tetapi juga memperhatikan aspek-aspek lainnya seperti aspek sosial, spiritual dan lain-lain.
            Kedua: bagi para guru dan kepala sekolah; agar memberikan perhatian khusus kepada SCI untuk bisa mengembangkan kemampuan belajarnya secara maksimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, sambil tetap memperhatikan keseimbang dengan beberapa aspek pembinaan lainnya.


DAFTAR RUJUKAN:

Astutik, D. (2012). Evaluasi Program Akselerasi di SMA N 1 Karanganyar Tahun Ajaran. Jurnal Ilmiah Pend. Sos Ant. Retrieved from https://media.neliti.com/media/publications/13607-ID-evaluasi-program-akselerasi-di-sma-n-1-karanganyar-tahun-ajaran-20122013.pdf

Feriwibisono, Bambang, dkk. Buku Panduan Akademik SMAK St. Albertus Malang. 2017. Malang: SMAK St. Albertus.

Karim, R. El. (n.d.). Dampak Kelas Unggulan Terhadap Siswa di Luar Kelas Unggulan di SMA Negeri I Liliriaja Kabuaten Sopeng. Jurnal Sosialisasi Pendidikan Sosiologi-FIS UNM, 101–104.

Kusdiyati, S. (2017). Kompetensi Sosial dengan Melihat “Overexcitabilities” dan Pola Asuh Pada Siswa Cerdas Istimewa. Journal of Psychological Research, Volume 3, No.1, Mei 2017, 11–22.

Ofianto. (2015). Evaluasi Program Percepatan atau Akselerasi Belajar di SD Muhammadiyah Sapen Yogyakarta. Jurnal Humanus, 63 Vol. XIV No.1 Th. 2015, XIV(1), 63–70.

Putri, F. A. (2016). Hubungan Konsep Diri dengan Motivasu Berprestasi Pada Siswa Akselerasi dan Siswa Reguler. Jurnal Psikologi Pendidikan 2016, Vol. 7, No. 1, 1 - 19, 7(1), 1–19.

Sugiarti, R., & Suhariadi, F. (2015). Gambaran Kompetensi Sosial Siswa Cerdas Istimewa. Psychology Forum UMM, ISBN: 978-979-796-324-8, 978–979.                 

No comments:

Post a Comment