Henderikus Dasrimin
Program Studi Manajemen Pendidikan
Pascasarjana
Abstract: The purpose of this research is
to know the implementation of Special Smart Student (SCI) program at SMAK St.
Albertus Malang. Furthermore, researchers will make a policy analysis or
evaluate the implementation of the program. This research method using
qualitative approach, by using model of formulative evaluation. The results
show that schools have implemented SCI programs and continue to make
improvements. There needs to be an ongoing effort to pay attention to the
psychological, sociological and spiritual aspects of the student, in addition
to the intellectual aspects of his intellect.
Keywords: Special Smart Students (SCI),
learning, schooling, education.
Abstrak: Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui implementasi program Siswa Cerdas Istimewa (SCI) di
SMAK St. Albertus Malang. Selanjutnya peneliti akan membuat analisis kebijakan
atau mengevalusi implementasi program tersebut. Metode penelitan ini menggunakan
pendekatan kualitatif, dengan menggunakan model evaluasi formulatif. Hasil
penelitian menunjukan bahwa sekolah telah menerapkan program SCI berdasarkan
amanat Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12 ayat (1) butir
(b) dan (f). Sekolah telah berusaha melakukan
pembenahan untuk penyempurnaan program ini. Sebagai sebuah sekolah unggul, perlu
ada upaya yang terus-menerus dilakukan untuk meningkatkan kualitas sekolah yang
tidak hanya menekankan aspek akademis atau kecerdasan intelektual, tetapi juga
memberi perhatian pada aspek psikologis, sosiologis, spiritual dan karakter.
Kata
Kunci: Siswa
Cerdas Istimewa (SCI), belajar, sekolah, pendidikan.
Pendahuluan
Siswa cerdas istimewa adalah siswa
dengan IQ yang tinggi (Feldhusen, 2005;Gordon dan Bridglall, 2005; Sword, 2001)
dan mendapatkan prestasi akademik di bidang matematika dan membaca (Borland,
2005; Cochran, 2009). Dikatakan sebagai siswa luar biasa, karena para siswa
tersebut memiliki kondisi yang menyimpang dari siswa normal dalam hal kapasitas
intelektual, yakni di atas rata–rata dan secara signifikan juga memiliki
perbedaan dalam beberapa dimensi yang penting dalam fungsi kemanusiaannya
(Feldhusen, 2005; Gordon dan Bridglall, 2005; Sword, 2001), prestasi akademik
yang lebih besar/lebih unggul dibandingkan dengan siswa normal seusianya
(Mangunsong, 2009; Schanella dan Mc Carthy, 2009), memiliki kemampuan yang
besar dalam hal menerima berbagai macam pengetahuan, daya ingat yang kuat,
serta keingintahuan yang besar. (Sugiarti & Suhariadi, 2015).
Indonesia memiliki sekitar 1,3 juta anak
usia sekolah sebagai siswa cedas istimewa. Renstra Ditjen Dikmen 2010-2014
menunjukkan, bahwa berdasarkan klasifikasi IQ Wechsler anak Indonesia yang tergolong
cerdas istimewa / sangat unggul dengan IQ 130 keatas sebanyak 2,2% dari total
populasi. Tahun 2010 tercatat jumlah peserta didik sekolah menengah berjumlah
9.112.792 jiwa. Sebanyak 2,2 persen atau sekitar 4.118 orang di antaranya tergolong
sangat unggul atau cerdas istimewa, dan baru sekitar 0,43 persen saja yang
mendapatkan pendidikan dalam kelas-kelas akselerasi (Permen PP&PA No. 10.
Th 2011).
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Departmen Pendidikan Nasional menerbitkan Pedoman Penyelenggaraan Program
Percepatan Belajar tahun 2003 yang menjelaskan bahwa program percepatan
(akselerasi) adalah pemberian pelayanan pendidikan sesuai dengan potensi
kecerdasan dan bakat istimewa yang dimiliki siswa, dengan memberi kesempatan
kepada mereka untuk dapat menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang
lebih singkat (Depdiknas, 2003). Hal ini ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12. Berdasarkan amanat
undang-undang tersebut beberapa sekolah di antaranya adalah SMAK St. Albertus
Malang telah menyelenggarakan program kelas percepatan (akselerasi), kelas
Siswa Cerdas Istimewa (SCI) atau yang dikenal juga dengan kelas unggulan.
Pada dasarnya, Supriyono (2009) menyatakan bahwa,
“kelas unggulan adalah suatu kelas yang dikembangkan untuk mencapai keunggulan
dalam proses dan hasil pendidikan bagi peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat yang istimewa“. Dari pengertian tersebut, maka dapat
diartikan adanya pengelompokkan kepada kelas tertentu bagi siswa yang memiliki
kemampuan di atas rata-rata dibandingkan teman yang lainnya.
Menurut Felhusen, Proctor dan
Black (dalam Hawadi, 2004), akselerasi diberikan untuk memelihara minat siswa
terhadap sekolah, mendorong siswa agar mencapai prestasi akademis yang baik dan
untuk menyelesaikan pendidikan dalam tingkat yang lebih tinggi bagi keuntungan
dirinya maupun masyarakat. (Putri,
2016). Di lain pihak, beberapa penelitian membuktikan
bahwa siswa cerdas istimewa, ditemukan memiliki problem dalam menempatkan
perilaku yang tepat sesuai dengan konteks sosialnya. Siswa cerdas istimewa
dibekali dengan kemampuan perkembangan yang lebih besar dan cenderung lebih
aktif (overexcitability) dibandingkan dengan siswa normal pada umumnya, baik
dari sisi fisik, intelektual, imajinasi maupun emosional. (Sugiarti
& Suhariadi, 2015).
Penyelenggaraan kelas unggulan tersebut telah
menimbulkan pro dan kontra di dalam lingkungan masyarakat dan lingkungan
sekolah, termasuk pro dan kontra antar siswa itu sendiri. Pendapat yang kontra
dengan munculnya kelas unggulan beranggapan bahwa dengan kelas unggulan
dikhawatirkan menimbulkan dampak negatif pada peserta didik. Keberadaan kelas
unggulan dapat memisahkan anak dari kehidupan alamiah yang ada di sekelilingnya
sehingga akan mengalami keterlambatan dalam bersosialisasi. (Karim, n.d.).
Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti
tertarik untuk mencoba menganalisis atau mengevaluasi implementasi program
kelas Siswa Cerdas Istimewa (SCI) yang selama ini sudah diterapkan di SMAK St.
Albertus Malang. Dengan kajian penelitian ini diharapkan dapat memberikan
gambaran untuk mendukung atau mengkritisi program tersebut.
Kandungan
Kebijakan
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 12 ayat (1) butir
(b) menyatakan: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dam kemampuannya”.
Selanjutnya dalam butir (f) dinyatakan: “Peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak menyelesaikan pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar
masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan”.
Berdasarkan undang-undang tersebut, maka SMAK St.
Albertus Malang menyediakan 3 pilihan peminatan yaitu IPA (Ilmu Pengetahuan
Alam), IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) dan Bahasa. Untuk peminatan IPA dan IPS
disediakan menu 6 semester yang terdiri dari dua palet, yaitu Paket 1 dan Paket
2, menu 5 semester (percepatan) dan menu 4 semester (Siswa Cerdas Istimewa). Jadi,
selain menerapkan paket reguler seperti pada sekolah-sekolah umum lainnya, SMAK
St. Albertus Malang juga menyediakan paket lain, di antaranya adalah paket SCI.
Teori
Pendukung atau Teori Pembantah
Penelitian
terhadap siswa cerdas istimewa mulai terlihat nyata pada akhir abad kesembilan
belas (Borland, 2005; Robinson dan Clinkenbeard, 1998; Stoeger, 2009). Petunjuk
adanya perhatian tentang cerdas istimewa menurut Spearman (1904; S toeger,
2009) diawali ketika Galton pada 1883 menemukan adanya faktor genetika yang
dapat menunjukkan perbedaan kemampuan. Para ilmuwan mulai mengukur talenta dan
bakat, dan memahaminya sebagai fondasi prestasi khusus dan menyamakan siswa
berbakat sebagai siswa dengan kapasitas intelektual yang tinggi (Hurts, 1932;
Stoeger, 2009).
Cerdas
istimewa menjadi suatu topik perhatian khusus di dunia pendidikan ketika Lewis
M . Terman pada awal abad ke-19 memperkenalkan konsep tes mental di
sekolah-sekolah di Amerika. Terman menguji apakah inteligensi yang tinggi
berkorelasi dengan fungsi fisik, dan prestasi yang khusus berhubungan dengan
ketidakseimbangan emosi (Keating, 1975; S toeger, 2009) . Hasil penelitian
Terman menunjukkan bahwa siswa cerdas istimewa tidak berarti menunjukkan
prestasi yang tinggi. Di sisi lain, siswa dengan kapasitas intelektual
rata–rata justru memperlihatkan kesehatan mental yang lebih sehat, pencapaian
prestasi akademik yang lebih baik, berperilaku lebih baik, dan lebih menunjukkan
karakter moral dan emosional yang bermanfaat (Roedell, 1984; Stoeger, 2009).
Roedell
(1984) menyebutkan bahwa siswa cerdas istimewa memiliki ciri-ciri perkembangan
yang rentan dan kesulitan di beberapa area. Area tersebut meliputi perkembangan
yang tidak umum, perfeksionis, sensitivitas tinggi, self yang tinggi,
harapan yang tinggi, terisolasi, kurang dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan, dan mengalami konflik peran. Keinginan untuk melihat sesuatu secara
akurat, tepat, serta presisi berpikir dan berekspresi menyebabkan siswa cerdas
istimewa menjadi argumentatif dan bisa mengalami konflik sosial (Sword, 2001).
Sebagai
pemikir analitis, siswa cerdas istimewa unggul dalam berpikir kritis, dapat
memecahkan berbagai hal dalam pikiran mereka dan menyatukan kembali dengan cara
yang rumit. Kesadaran diri yang mendalam dan terfokus pada diri sendiri cenderung
menjadikan siswa cerdas istimewa khawatir dan menjadi sangat kritis terhadap
diri mereka sendiri. Kompleksitas intelektual yang berbeda dari teman sebayanya
dapat menciptakan ketegangan batin yang besar bagi siswa cerdas istimewa. (Sugiarti & Suhariadi, 2015). Siswa
cerdas istimewa merasa berbeda, tidak pada tempatnya atau tidak sama dengan
siswa lainnya, sehingga dapat mengalami perasaan isolasi dan kesepian.
Ketegangan internal tercermin dalam kesulitan penyesuaian eksternal seperti
kurangnya kesesuaian dengan harapan budaya berdasarkan usia kronologis dan
mengalami masalah dalam berhubungan dengan teman sebayanya (Silverman 1993). Siswa
cerdas istimewa rentan mengalami permasalahan psikososial, di antaranya adalah
kesulitan dalam menjalin relasi sosial dengan teman sebaya, perilaku sosial
yang tidak adekuat, masalah perilaku dan penyesuaian sosial di sekolah yang
buruk (Schwean, 2006).
Sebaliknya, penelitian Lee, dkk, (2012) menunjukkan bahwa siswa cerdas
istimewa memiliki kemampuan interpersonal dan pertemanan yang lebih baik dibandingkan
dengan siswa normal pada umumnya. Lebih lanjut, setiap
anak seharusnya mendapat pengalaman belajar sesuai dengan kebutuhan, kondisi,
kemampuan dan minat serta kecepatannya, untuk berkembang seoptimal mungkin.(Ofianto, 2015). Milgram (dalam Hawadi, 2002: 20) menyatakan anak didik berbakat
intelektual sebenarnya sama dengan anak luar biasa lainnya yang mengalami
gangguan, misal penglihatan, buta, tuli, ke-sulitan belajar, dan keterbelakangan
mental, di mana mereka membutuhkan bantuan untuk mengembangkan potensinya.
Untuk itu diperlukan layanan pendidikan khusus yang memung-kinkan kebutuhan itu
dapat terpenuhi.
Menurut Tangyong (dalam Hawadi, 2002:
21), jika tidak diberikan layanan yang sesuai dalam proses belajar mengajar,
kesulitan akan timbul pada kelompok anak didik yang berada pada kategori di
bawah normal yang pada distribusi normal terletak diujung kiri, dan pada mereka
yang disebut kelompok atas normal yang terletak di ujung kanan, termasuk
didalamnya anak berbakat intelektual. Barbara Clark (1983: 132-134) menyatakan
ada beberapa alasan pentingnya diberikan layanan kepada anak berbakat
intelektual, antara lain: 1) lingkungan belajar yang sesuai dapat mendukung
ber-kembangnya kapasitas atau potensi seseorang, 2) pendidikan yang
memperlakukan secara sama untuk semua siswa adalah pendidikan yang telah
mengingkari adanya hak perkem-bangan pendidikan yang cocok bagi anak berbakat
intelektual, 3) memberikan keadilan kepada siswa yang memiliki bakat
intelektual seperti halnya mereka yang memiliki keterbatasan,
4) diharapkan dengan fasilitas yang ada maka potensi anak akan terkelola secara
maksimal.
Berikut ini
adalah beberapa praktek yang ditemukan dalam penyelenggaraan program akselerasi
(Astutik,
2012):
Pertama: Pemenuhan
kebutuhan pendidikan Siswa Cerdas Istimewa sebagai arena reproduksi kelas. Program akselerasi seharusnya memang
layak diberikan kepada peserta didik yang memiliki kualifikasi dalam taraf
cerdas istimewa. Untuk menyelenggarakan program akselerasi, sekolah
penyelenggara harus memenuhi beberapa persyaratanformal agar akselerasi
berjalan sesuai dengan tujuan. Persyaratan formal itu antara lain seperti
sarana prasarana baik teknis maupun non teknis. Dengan beberapa persyaratan
tersebut, sekolah penyelenggara tentu membutuhkan banyak dana dalam proses penyelenggaraannya,
oleh karena itu dari pihak sekolah sendiri tidak menjalankan dan memenuhi
beberapa persyaratan formal tersebut. Dengan keterbatasan sekolah memenuhi
segala sarana dan prasarana yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, maka
dalam penyelenggaraannya sekolah cenderung menjadikan kemampuan orang tua dalam
kemampuan pembayaran sebagai salah satu syarat untuk masuk dalam kelas
akselerasi.
Alih-alih
untuk memfasilitasi siswa melalui uang sumbangan yang sudah diberikan,
mendorong orang tua dari calon peserta didik untuk memberikan sumbangannya
secara suka rela kepada sekolah secara bersaing.Ambisi yang besar untuk
menyekolahkan anak dalam kelas akselerasi menyebabkan orang tua bersedia untuk
memenuhi segala persyaratan yang sudah ditentukan.Dengan keadaan seperti ini
sekolah cenderung melegitimasi adanya praktek tawar menawar kelas akselerasi
dengan menggunakan uang. Dengan keadaan demikian, tentu saja hanya bisa
dilakukan oleh masyarakat dalam lapisan atas, sehingga persaingan ini akan
memperlihatkan bahwa dalam sekolah pun juga terdapat lapisan kelas yang menurut
Giroux dapat dikatakan bahwa dalam program akselerasi terdapat reproduksi
kelas.
Reproduksi
kelas terjadi dalam program akselerasi karena untuk masuk dalam kelas
akselerasi adalah siswa yang memiliki kemampuan dalam hal biaya, sedangkan bagi
siswa yang kurang mampu akan tetapi memiliki kecerdasan lebih menjadi
terabaikan. Program akselerasi yang pada dasarnya diperuntukkan untuk siswa
cerdas istimewa, bergeser untuk siswa yang mamiliki kemampuan dalam hal biaya.
Kedua: Akselerasi sebagai konstruksi kurikulum
yang melahirkan ketidaksetaraan dan Ketidakadilan. Sekolah sebagai penyelenggara
program akselerasi menurut Giroux dapat dilihat sebagai wujud kurikulum yang
dikonstruksi dengan ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Jika dilihat dari
masukan seperti calon peserta didik yang tidak memenuhi kriteria, karena
berdasarkan data meskipun dilakukan beberapa tes, akan tetapi tes hanya
dijadikan sebagai formalitas, kemudian dari guru sendiri yang juga tidak
melalui seleksi dan tes, kemudian kurikulum, materi, metode serta evaluasi yang
tidak jauh berbeda dengan program reguler yang ada, sekolah justru
melanggengkan dan melegitimasi batas kelas antara program akselerasi dengan
program reguler.
Lebih
jauh lagi, pada kenyataannya siswa yang ada dalam kelas akselerasi adalah siswa
yang tidak memiliki kualifikasi untuk masuk dalam kelas akselerasi, akan tetapi
mereka memiliki kelebihan dalam hal materi, maka yang terjadi adalah
ketidakadilan kepada peserta didik yang benar-benar memiliki kecerdasan lebih
akan tetapi memiliki keterbatasan dalam hal materi. Siswa yang benar-benar
memiliki kecerdasan istimewa idealnya adalah sasaran program akselerasi, akan
tetapi keadaan demikian menjadi terbalik ketika sekolah mewajibkan peserta
didik untuk membayar biaya sumbangan kepada sekolah. Siswa yang memiliki
kecerdasan lebih dan kekurangan dalam hal biaya akan terabaikan dan terabaikan.
Sekolah sebagai tempat reproduksi kelas seperti yang sudah dijelaskan pada sub
bab 1, justru
mendukung adanya ketidakadilan ini
sebagai hasil dari reproduksi kelas atas, yakni masyarakat yang mampu.
Ketiga: Program
akselerasi hanya sebagai tradisi. Berdasarkan data lapangan yang ada, banyak hal yang tidak dapat dipenuhi
sekolah dalam penyelenggaraan kelas akselerasi, misalnya tidak ada bimbingan
psikologis baik dalam identifikasi anak cerdas maupun penyelenggaraannya, tidak
ada evaluasi dalam penyelenggaraan program akselerasi, tidak ada persiapan
dalam mempersiapkan tenaga pengajar dalam kelas akselerasi, kemudian yang
terakhir adalah tidak berjalannya program akselerasi secara sistematis, yang
ditandai dengan tidak adanya monitoring dan evaluasi dalam hal pendanaan dalam
penyelenggaraannya. Keadaan ini dapat dilihat bahwa akselerasi berjalan hanya
sebagai sebuah program yang dijalankan sekolah sebagai aktivitas rutin semata,
karena pada kenyataannya ketentuan-ketentuan yang semestinya dijalankan dalam
program akselerasi dalam implementasinya tidak terpenuhi dan tidak pula berbeda
dengan kelas reguler. Akselerasi hanya sebuah nama bahwa sekolah memiliki
identitas sebagai sekolah penyelenggara akselerasi, akan tetapi pada penyelenggaraannya
akselerasi berjalan hanya sebatas pada waktu percepatan belajar yang pada
umumnya 3 tahun menjadi 2 tahun, kemudian setelah siswa lulus, siswa
direkomendasikan ke berbagai PTN yang ada. Setelah proses ini, sekolah selesai
dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pendidikan. Akselerasi yang sudah
berjalan tidak memiliki tujuan yang jelas, karena hanya berkutat pada waktu
belajar yang dipercepat dan biaya yang relatif lebih mahal dibanding dengan
kelas reguler.
Keempat: Akselerasi
sebagai pendukung kapitalisme modern melalui pasar kerja. Menurut Giroux, kapitalisme dipandang
mengorganisasi pendidikan secara massal sesuai dengan kepentingan kelas
kapitalis, dalam hal ini program akselerasi misalnya. Selama ini program
akselerasi yang berjalan hanyalah sebatas pendidikan yang tujuannya adalah
untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi siswa yang memiliki kecerdasan
istimewa bergeser peran dengan mempersiapkan para peserta didik yang dibentuk
dengan ilmu pengetahuan dengan mengikuti perkembangan teknologi. Tujuan
nantinya adalah untuk memenuhi kebutuhan para kapitalisme, dalam hal ini
industri.
Akselerasi
mendidik siswa dengan waktu relatif cepat, akan tetapi dalam hal kualitas
lulusan tidak berbeda dengan kelas reguler, karena dalam input yang diberikan
juga sebenarnya tidak berbeda dengan input dalam kelas reguler. Sekolah juga
melanggengkan kapitalisme dalam pendidikan dengan memberikan keahlian yang
mendukung peserta didik untuk masuk dalam dunia kapitalisme, misalnya pemberian
materi TOEFL dan komputer misalnya yang merupakan salah satu syarat penting
dalam dunia industri.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka program
percepatan belajar memiliki kekurangan dan kelebihan diantaranya (Hawadi, 2002:
21) menyatakan kelebihannya: a) meningkatkan efisiensi, b) meningkatkan
efektivitas belajar, c) penghargaan yang tinggi terhadap siswa, d) meningkatkan
waktu untuk meniti karier, dan e) membuka siswa pada kelompok yang baru dengan
kemampuan akademis sama. Sedangkan kelemahannya menurut Southern dan Jones
(dalam Hawadi, 2002) adalah a) bidang akademik siswa kurang matang secara
emosional maupun fisik, kurang memiliki pengalaman, kurang mampu ber-adaptasi
dengan lingkungan yang baru, bisa saja karir tidak sesuai dengan keinginannya,
b) bidang penyesuaian sosial kesempatan untuk bersosialisasi terhadap teman
sebaya kurang karena banyaknya waktu terkuras untuk belajar, c) kurang
partisipasi terhadap kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler, dan d) penyesuaian
sosial yang kurang. (Ofianto, 2015).
Metode
Analisis
Penelitian ini dapat dikategorikan
sebagai penelitian evaluasi dengan pendekatan kualitatif, yakni untuk
mengevaluasi proses penyelenggaraan program kelas Siswa Cerdas Istimewa (SCI)
di SMAK St. Albertus Malang. Model evaluasi yang digunakan adalah model
evaluasi yang dikembangkan oleh Scrven yaitu evaluasi formatif.(Ofianto, 2015). Hal ini didasarkan bahwa program percepatan belajar untuk SCI
ini sedang dilaksanakan. Dengan evaluasi formatif ini diharapkan dapat
diperoleh informasi penting terkait dengan keterlaksanaan program percepatan
belajar SCI di SMAK St. Albertus Malang. Dalam penelitian ini kriteria
dikembangkan sesuai dengan karakteristik program percepatan belajar, melalui
kajian pustaka program percepatan belajar SCI yang disusun oleh Depdiknas.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan studi
dokumentasi.
Hasil Analisis Kebijakan
SMAK St. Albertus Malang menyediakan 3 pilihan
peminatan yaitu IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) dan
Bahasa. Untuk peminatan IPA dan IPS disediakan menu 6 semester yang terdiri
dari dua palet, yaitu Paket 1 dan Paket 2, menu 5 semester (percepatan) dan
menu 4 semester (Siswa Cerdas Istimewa).
Menu 6 semester Paket 1,2 dan menu 5 semester
memfasilitasi peserta didik lulus dalam 6 semester, sedangkan menu 4 semester
(SCI) memfasilitasi peserta didik lulus dalam waktu 4 semester. Peserta didik
yang mengambil menu 5 semester mendapatkan kesempatan lebih banyak waktu untuk
persiapan Ujian Nasional, Ujian Sekolah dan Ujian Masuk Perguruan Tinggi.
Sedangkan untuk peminatan bahasa hanya disediakan satu menu 6 semester paket 1,
namun tetap fleksibel untuk memfasilitasi peserta didik belajar sesuai dengan
kecepatan belajarnya karena sudah tersedia Unit Kegiatan Belajar Mandiri (UKBM).
Berikut
ini adalah distribusi mata pelajaran dan bobot SKS pada peminatan IPA menu 5
semester (percepatan) dan menu 4 semester (SCI):
Tabel
1. Distribusi mata pelajaran dan bobot SKS
No.
|
Mata Pelajaran
|
Struktur Kurikulum 2013
|
Menu 5 semester (Percepatan)
|
Menu 4 semester (SCI)
|
|||||||||||||
Semester
|
Semester
|
Semester
|
|||||||||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
1
|
2
|
3
|
4
|
||
1
|
Pendidikan Agama dan Budi
Pekerti
|
3
|
3
|
3
|
3
|
3
|
3
|
2
+(1)
|
4
+(2)
|
4
+(2)
|
|
2
+(1)
|
|
2
+(1)
|
4
+(2)
|
4
+(2)
|
2
+(1)
|
2
|
Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
4
|
4
|
|
2
|
|
2
|
4
|
4
|
2
|
3
|
Bahasa Indonesia
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
8
|
|
4
|
4
|
8
|
8
|
4
|
Matematika
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
8
|
|
4
|
8
|
|
4
|
8
|
4
|
8
|
5
|
Sejarah Indonesia
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
4
|
4
|
|
2
|
|
2
|
4
|
4
|
2
|
6
|
Bahasa Inggris
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
4
|
|
4
|
2
|
|
2
|
4
|
4
|
2
|
7
|
Seni Budaya
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
4
|
|
4
|
2
|
|
2
|
2
|
2
|
2
|
8
|
Pendidikan Jasmani, Olah
Raga dan Kesehatan
|
3
|
3
|
3
|
3
|
3
|
3
|
3
|
2
+(1)
|
2
+(1)
|
2
+(1)
|
2
+(1)
|
2
+(1)
|
3
|
2
+(1)
|
2
+(1)
|
2
+(1)
|
9
|
Prakarya dan Kewirausahaan
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
4
|
|
4
|
|
2
|
2
|
4
|
4
|
10
|
Matematika Peminatan
|
3
|
3
|
4
|
4
|
4
|
4
|
3
|
3
|
8
|
4
|
4
|
|
6
|
8
|
4
|
4
|
11
|
Biologi
|
3
|
3
|
4
|
4
|
4
|
4
|
3
|
7
|
|
8
|
4
|
|
6
|
4
|
8
|
4
|
12
|
Fisika
|
3
|
3
|
4
|
4
|
4
|
4
|
6
|
|
8
|
4
|
4
|
|
6
|
8
|
4
|
4
|
13
|
Kimia
|
3
|
3
|
4
|
4
|
4
|
4
|
6
|
|
4
|
8
|
4
|
|
6
|
4
|
4
|
8
|
14
|
Lintas minat/ Pendalaman
minat
|
3
|
3
|
2
|
2
|
2
|
2
|
6
|
2
|
2
|
4
|
|
|
6
|
|
4
|
4
|
15
|
TOEFL Preparation
|
3
|
3
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
4
|
2
|
|
2
|
2
|
4
|
4
|
16
|
Bimbingan Konseling
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Total jam pelajaran
|
42
|
42
|
44
|
44
|
44
|
44
|
50
+(1)
|
50
+(3)
|
46
+(3)
|
50
+(3)
|
50
+(3)
|
2
+(1)
|
56
+(1)
|
60
+(3)
|
64
+(3)
|
60
+(3)
|
Sumber:
Buku Panduan Akademik SMAK St. Albertus Malang TP 2017/2018.
Catatan:
1.
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti: ditambah (1) sks berarti pembinaan life
skill
2. Pendidikan Jasmani, Olah Raga
dan Kesehatan: ditambah (1) berarti pembinaan bela negara dan life skill.
Dari Tabel 1 dapat
dilihat bahwa total jam pelajaran untuk pemintan IPA menu 5 semester
(percepatan) dan menu 4 semester (SCI) adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Total jam
pelajaran menu 5 semester (percepatan) dan menu 4 semester (SCI).
Total
jam
pelajaran
|
Struktur
Kurikulum 2013
|
Menu 5 semester (Percepatan)
|
Menu 4 semester (SCI)
|
|||||||||||||
Semester
|
Semester
|
Semester
|
||||||||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|
42
|
42
|
44
|
44
|
44
|
44
|
50
+(1)
|
50
+(3)
|
46
+(3)
|
50
+(3)
|
50
+(3)
|
2
+(1)
|
56
+(1)
|
60
+(3)
|
64
+(3)
|
60
+(3)
|
Sedangkan total jam
pelajaran untuk peminatan IPA menu 6 semester Paket 1 dan 2 adalah seperti
berikut:
Tabel 3. Total jam pelajaran untuk peminatan IPA menu 6
semester Paket 1 dan 2
Total
jam
pelajaran
|
Struktur
Kurikulum 2013
|
Paket 1 (IPA 1,2,3)
|
Paket 2 (IPA 4,5,6)
|
||||||||||||||||
Semester
|
Semester
|
Semester
|
|||||||||||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
||
42
|
42
|
44
|
44
|
44
|
44
|
50
+(1)
|
44
+(3)
|
44
+(1)
|
44
+(3)
|
48
+(3)
|
18
+(3)
|
50
+(1)
|
44
+(3)
|
44
+(3)
|
44
+(1)
|
48
+(3)
|
18
+(3)
|
||
Dari tabel di atas
dapat dilihat bahwa beban belajar bagi SCI sangat tinggi. Dalam satu semester,
total jam pelajaran bagi siswa SCI bisa sampai 56-64 jam, sedangkan siswa
regular hanya sekitar 42-44 jam pelajaran. Hal ini yang oleh beberapa pendapat
menyatakan bahwa SCI akan membebankan siswa. Namun di sisi lain ada yang
berpendapat bahwa hal itu bukan menjadi beban bagi siswa karena mereka sudah
terbukti memiliki kemampuan istimewa dibandingkan dengan siswa lainnya.
Layanan peserta didik
menu 4 semester adalah layanan bimbingan dan pendampingan khusus bagi peserta
didik yang telah diidentifikasi memiliki prestasi sangat memuaskan, dan oleh
psikolog telah diidentifikasi memiliki kemampuan intelektual umum pada taraf
cerdas, memiliki kreativitas dan keterikatan terhadap tugas di atas rata-rata,
untuk dapat menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar
mereka.
Lembaga pendidikan SMAK
St. Albertus Malang membuat beberapa persyaratan bagi peserta didik yang akan
mengikuti layanan menu 5 semester dan 4 semester. Persyaratan tersebut adalah
sebagai berikut:
a)
Memiliki tingkat kecerdasan tinggi di
atas rata-rata (Intelligence Quotient/IQ)
secara konsisten;
b)
Memiliki riwayat belajar istimewa secara
konsisten;
c)
Memiliki karakter mandiri, cepat
memahami, gemar membaca, dan motivasi tinggi dalam belajar;
d)
Memiliki keingintahuan tinggi serta
komitmen Task Commitment (TC) dan Creativity Quotient (CQ) tinggi dalam
melaksanakan tugas; dan
e)
Memiliki prestasi akademik istimewa
secara konsisten (tidak memiliki program remedial)
Program layanan peserta
didik menu 4 semester dimulai di awal semester, sedangkan program layanan
peserta didik menu 5 semester dimulai di semester 2. Dengan program 4 semester
ini, peserta didik yang memenuhi kriteria dan secara konsisten dapat
mempertahankan prestasinya akan dapat menyelesaikan beban belajarnya selama 2
tahun (4 semester).
Ada beberapa alternatif
kebijakan jika sekolah memiliki SCI, antara lain:
a). SCI tidak dipisahkan dengan siswa lainnya.
b). SCI dipisahkan dengan siswa lainnya,
tetapi jumlah semester dan total jam pelajaran tetap sama.
c). SCI dipisahkan dengan siswa lainnya
dan lamanya pendidikan dipercepat (4 semester).
Analisis
kelebihan dan kekurangan dari beberapa alternarif di atas dapat dilihat pada
tabel 4.
Tabel 4. Analisis alternatif kebijakan
bagi SCI
Alternatif
|
Keterangan
|
Keunggulan
|
Kelemahan
|
I
|
SCI tidak dipisahkan dengan
siswa lainnya
|
*) SCI matang secara sosial dan emosional
|
*) SCI tidak dapat meningkatkan efektivitas belajar sesuai dengan kemamenmpuannya.
*) Tidak memberikan
pelayanan pendidikan sesuai potensi kecerdasan istimewa yang dimiliki siswa
|
II
|
SCI dipisahkan dengan siswa
lainnya, tetapi jumlah semester dan total jam pelajaran tetap sama (6
semester)
|
*) Beban belajar SCI
diperingan dan bisa menggunakan waktu yang ada untuk bersosialisasi dengan
teman sebaya.
|
*) Kecepatan belajar tidak sesuai kemapuan siswa.
*) Mengulur-ulur waktu yang
seharusnya bisa digunakan oleh siswa untuk mempercepat waktu study dan karir.
|
III
|
SCI dipisahkan dengan siswa
lainnya dan lamanya pendidikan dipercepat (4 semester)
|
*) Memberikan pelayanan pendidikan sesuai potensi kecerdasan istimewa yang
dimiliki siswa
*) meningkatkan efektivitas belajar
*) meningkatkan waktu untuk
meniti karier
|
*) SCI kurang matang secera
sosial dan emosional
|
Dari beberapa
alternatif tersebut, peneliti menawarkan agar memilih alternatif yang ketiga
(III). Artinya bahwa peneliti mendukung program percepatan belajar SCI yang
selama ini telah diimplementasikan di SMAK St. Albertus Malang, sambil tetap
memperhatikan berbagai aspek pembinaan dan pendidikan karakter agar SCI
memiliki kematangan dalam berbagai aspek.
Pembahasan
Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 memandatkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pasal tersebut secara tegas
mengedepankan kepentingan peserta didik sebagai bagian penting dari komponen
pendidikan.
Dalam kajian
filosofisnya, peserta didik dipandang sebagai manusia seutuhnya yang unik, di
mana mereka dipandang sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban. Dalam
pendidikan, hak-hak peserta didik haruslah lebih dikedepankan daripada
kepentingan lainnya. Peserta didik sebagai individu yang unik memiliki bakat,
minat, kemampuan, dan gaya belajar yang berbeda. Setiap peserta didik harus
mendapatkan layanan pendidikan masal untuk peserta didik secara individual (mass
education of individual) bukan pendidikan individual bagi peserta didik
masal (individual education of the mass) agar dapat berkembang sesuai
dengan potensinya masing-masing. Hal tersebut dipertegas dalam Undang-Undang
Sisdiknas Pasal 12 ayat (1) point b bahwa peserta didik berhak mendapatkan
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
Selanjutnya, dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan
Pasal 19 ayat (1) disebutkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang
yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis
peserta didik, dan ayat (2) menegaskan bahwa beban belajar dapat
dinyatakan dalam bentuk satuan kredit
semester. Dalam kaitannya dengan ini, dalam Undang-Undang Sisdiknas
Pasal 12 ayat (1) point f menyatakan bahwa peserta didik dapat menyelesaikan
program pendidikan sesuai dengan kecepatan
belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu
yang ditetapkan. Dengan demikian, bakat, minat dan kecepatan belajar peserta
didik sudah tidak dapat lagi
diasumsikan sama.
Undang-undang
tersebut didukung oleh beberapa teori seperti yang dikemukakan sebelumnya, di
antaranya adalah penelitian
Ofianto (2015) yang mengemukakan bahwa setiap anak
seharusnya mendapat pengalaman belajar sesuai dengan kebutuhan, kondisi,
kemampuan dan minat serta kecepatannya, untuk berkembang seoptimal mungkin.
Milgram (dalam Hawadi, 2002: 20) menegaskan bahwa SCI membutuhkan bantuan untuk
mengembangkan potensinya yakni melalui layanan pendidikan khusus yang memungkinkan
kebutuhan itu dapat terpenuhi. Jika tidak diberikan layanan yang sesuai dalam
proses belajar mengajar, maka menurut Tangyong (dalam Hawadi, 2002: 21),
kesulitan akan timbul pada anak berbakat intelektual.
Temuan kebijakan di lapangan juga membuktikan bahwa
program SCI masih cukup penting untuk lingkungan belajar yang sesuai dapat
mendukung berkembangnya kapasitas atau potensi siswa. Program kelas SCI dapat
menciptakan keadilan kepada siswa yang memiliki bakat intelektual dengan
memberi peluang kepada anak untuk mengembangkan potensinya secara
maksimal.
Penutup
Kesimpulan
Pertama:
SMAK
St. Albertus Malang telah mengimplementasikan program percepatan belajar SCI,
pada bidang peminatan IPA dan IPS yang bisa ditempuh selama empat semester.
Kedua:
Implementasi
program percepatan belajar SCI memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya
antara lain adalah: a) memberikan pelayanan pendidikan sesuai potensi
kecerdasan istimewa yang dimiliki siswa, b) meningkatkan efektivitas belajar,
c) meningkatkan waktu untuk meniti karier. Sedangkan kelemahannya antara lain
adalah: a) bidang akademik siswa kurang matang secara emosional maupun fisik,
b) siswa kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan, c) kurang bersosialisasi
terhadap teman sebaya karena banyaknya waktu terkuras untuk belajar, c)
penyesuaian sosial yang kurang.
Rekomendasi
Pertama: bagi siswa; agar tidak hanya
fokus pada pengembangan aspek akademik saja tetapi juga memperhatikan aspek-aspek
lainnya seperti aspek sosial, spiritual dan lain-lain.
Kedua: bagi para guru dan kepala
sekolah; agar memberikan perhatian khusus kepada SCI untuk bisa mengembangkan
kemampuan belajarnya secara maksimal sesuai dengan kemampuan yang dimiliki,
sambil tetap memperhatikan keseimbang dengan beberapa aspek pembinaan lainnya.
DAFTAR
RUJUKAN:
Astutik, D. (2012). Evaluasi Program Akselerasi di SMA
N 1 Karanganyar Tahun Ajaran. Jurnal Ilmiah Pend. Sos Ant. Retrieved
from
https://media.neliti.com/media/publications/13607-ID-evaluasi-program-akselerasi-di-sma-n-1-karanganyar-tahun-ajaran-20122013.pdf
Feriwibisono, Bambang, dkk. Buku Panduan Akademik SMAK St. Albertus Malang. 2017. Malang: SMAK
St. Albertus.
Karim, R. El. (n.d.). Dampak Kelas Unggulan Terhadap Siswa di
Luar Kelas Unggulan di SMA Negeri I Liliriaja Kabuaten Sopeng. Jurnal Sosialisasi
Pendidikan Sosiologi-FIS UNM, 101–104.
Kusdiyati, S. (2017). Kompetensi Sosial dengan Melihat
“Overexcitabilities” dan Pola Asuh Pada Siswa Cerdas Istimewa. Journal of
Psychological Research, Volume 3, No.1, Mei 2017, 11–22.
Ofianto. (2015). Evaluasi Program Percepatan atau Akselerasi
Belajar di SD Muhammadiyah Sapen Yogyakarta. Jurnal Humanus, 63 Vol. XIV
No.1 Th. 2015, XIV(1), 63–70.
Putri, F. A. (2016). Hubungan Konsep Diri dengan Motivasu
Berprestasi Pada Siswa Akselerasi dan Siswa Reguler. Jurnal Psikologi
Pendidikan 2016, Vol. 7, No. 1, 1 - 19, 7(1), 1–19.
Sugiarti, R., & Suhariadi, F. (2015). Gambaran Kompetensi
Sosial Siswa Cerdas Istimewa. Psychology Forum UMM, ISBN: 978-979-796-324-8,
978–979.
No comments:
Post a Comment