Penulis: Hendrikus Dasrimin
Non schole, sed vitae discimus, merupakan ungkapan dalam
bahasa Latin yang berarti “Kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk
hidup”. Pepatah dari filsuf Seneca ini secara sederhana dapat dipahami sebagai
ajakan bagi siapapun yang ingin mengenyam pendidikan untuk tidak hanya mengejar
nilai (kuantitatif-angka) atau peringkat (ukuran prestasi). Tujuan pendidikan
yang hendaknya dikejar adalah nilai kehidupan.
Seruan kritis pujangga Romawi yang hidup tahun 4
SM-65M ini tidak hanya berlaku pada zamannya, tetapi juga aktual hingga zaman
ini. Catatan kritis yang tertuang dalam Buku Epistulae Morales ad Lucilium
ini, juga menjadi catatan reflektif bagi dunia pendidikan kita di zaman
milenial ini.
Sudah cukup lama, kurikulum pendidikan kita seakan
mengkondisikan kita untuk terjebak dalam prinsip “sekolah untuk bisa tahu
banyak dan akhirnya memiliki nilai/IP yang tinggi”. Jika hal itu sudah kita
dapatkan, maka kita layak digolongkan sebagai siswa/mahasiswa yang berprestasi
akademik. Maka sejak pendidikan usia dini, anak-anak sudah diarahkan untuk
memiliki nilai yang tinggi di rapor. Bahkan sampai di tingkat perguruan tinggi,
yang dicari oleh sebagian mahasiswa adalah memiliki Indeks Prestasi (IP) yang
tinggi.
Orangtua akan sangat merasa kecewa jika pada setiap
acara penerimaan rapor, anak-anak mereka tidak mendapatkan peringkat kelas. Nilai
yang tinggi juga menjadi salah satu kriteria seorang anak bisa diterima
melanjutkan pendidikan di sekolah unggul atau perguruan tinggi ternama.
Demikian pula beberapa perusahaan atau tempat kerja juga mencantumkan kriteria
IP dalam rekrutmen tenaga kerja baru.
Hal yang disebutkan di atas tentu tidak sepenuhnya
salah karena nilai merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu proses
pendidikan. Menjadi tidak benar, jika hal tersebut tidak diimbangi dengan
tujuan pendidikan yang sesungguhnya yakni demi hidup itu sendiri. Tujuan
Pendidikan Nasional yang telah tertuang dalam Undang-undang No 2 Tahun 2003,
juga telah menegaskan tentang hal itu. Namun sayangnya hal ini belum sepenuhnya
disadari dan dilaksanakan. Menekankan prestasi, mengejar nilai dan peringkat
dan mengabaikan ketrampilan dan nilai-nilai kehidupan, masih menjadi kebiasaan
yang sulit ditinggalkan.
Hal yang bisa dilakukan
Pada bagian ini saya ingin mensharingkan
pengalaman pribadi dalam menerapkan ungkapan “non schole, sed vitae
discimus” bagi perserta didik. Dua hal yang saya lakukan ini adalah untuk
menghilangkan prinsip bahwa “belajar itu untuk mendapat nilai”. Karena trik ini
dilakukan secara tiba-tiba dan membutuhkan kesiapan dari para peserta didik,
maka hal tersebut dapat diibaratkan seperti “prank” dalam arti positif. Adapun
hal yang saya lakukan adalah sebagai berikut:
Pertama: mengadakan ulangan atau tes dengan tidak
menjadwalkannya terlebih dahulu
Kadang para siswa dan mahasiswa memiliki kecenderungan
belajar hanya pada saat mendekati ujian atau ulangan. Prinsip ini membelokan
tujuan belajar yakni pada pencarian nilai atau belajar supaya bisa lulus. Orang
yang memiliki prinsip bahwa belajar adalah untuk hidup akan selalu meluangkan
waktunya untuk terus belajar, sekalipun tidak diberitahu akan ada ujian atau
ulangan.
Dengan mengadakan ulangan yang tidak terjadwal
sebelumnya, para peserta didik akan selalu dalam keadaan siap. Sikap
berjaga-jaga (vigilantia) terus digemakan pada para peserta didik sehingga jika
terjadi ulangan secara tiba-tiba maka mereka pun sudah dalam keadaan siap. Jika
kita berpikir lebih jauh, maka sebenarnya ujian hidup yang dialami seseorang,
tidak pernah dijadwalkan sebelumnya. Hanya orang yang dalam keadaan siap sedia,
yang bisa menghadapi ujian hidup dengan baik.
Kedua: tidak memberikan nilai setelah mengadakan ulangan
atau tes
Kembali pada prinsip umum yang sebenarnya salah bahwa
belajar dan mengikuti ulangan atau ujian dilakukan hanya untuk mendapatkan
nilai. Ketika mengetahui akan ada ulangan atau ujian, ada yang belajar
menggunakan Sistem Kebut Semalam (SKS), atau menggunakan sistem hafalan dan
lain-lain. Setelah ujian dan sudah mendapatkan nilai, maka apa yang dihafalkan
atau yang hanya dipersiapkan beberapa waktu sebelumnya, kadang hilang begitu
saja. Namun bagi mereka, itu tidak masalah karena yang terpenting nilai sudah
dicatat oleh guru atau dosen. Lagi-lagi, prinsipnya yang penting dapat nilai.
Untuk menghilangkan stigma ini maka kadang saya
tidak sengaja tidak memberikan nilai setelah mengadakan suatu ulangan. Namanya
“prank” maka hal ini tidak akan diketahui sebelumnya dan tidak dilakukan
sesering mungkin. Praktisnya, seperti ulangan pada umumnya, para peserta didik
diberikan soal dan mereka menjawab soal-soal tersebut sebagaimana lazimnya
mengadakan ulangan.
Mereka akan mengerjakan dengan serius dan berusaha
menjawab soal-soal itu dengan baik supaya mendapat nilai yang tinggi. Namun
setelah selesai ulangan sesuai dengan durasi waktu yang sudah ditentukan, maka
saya menyampaikan bahwa hasil pekerjaan tersebut tidak perlu dikumpulkan dan
diambil nilai. Silakan para siswa bisa mengukur sendiri sejauh mana
pemahamannya terhadap suatu materi yang diujikan. Siswa bisa membandingkannya
dengan hasil pekerjaan teman lain.
Itulah beberapa “prank” yang pernah saya lakukan
untuk mengajak para peserta didik sadar bahwa sekolah atau belajar pertama-tama
bukan untuk mengejar nilai yang tinggi melaikan untuk menyiapkan hidup masa
depan yang baik. Tentunya jadwal ulangan atau ujian yang sudah ditetapkan oleh
satuan pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku tetap dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
No comments:
Post a Comment