“Sejak kelas 1 SMP sampai kelas 3, anak selalu
dapat pembagian di kelas A. Kok sekarang malah dapat di kelas D. Apa banyak
teman lainnya yang lebih pintar ya?”
Demikian sepenggal pertanyaan yang dilontarkan oleh
seorang ibu kepada temannya, sesaat setelah mengetahui bahwa anaknya mendapat
pembagian di kelas D. Ibu itu kelihatan kaget dan terkesan kurang puas ketika
mengetahui bahwa anaknya yang baru selesai mendaftar ulang di SMA sebagai siswa
baru tersebut harus mendapat pembagian di kelas D. Baginya, pembagian kelas A,
B, C, D dan seterusnya adalah pengelompokan berdasarkan kepintaran atau
prestasi akademik siswa yang dilihat berdasarkan nilai rapor atau nilai ujian.
Karena itu ibu yang mengetahui bahwa anaknya selalu berada di kelas A selama
duduk di bangku SMP tersebut, merasa kebingungan.
Bukan hanya ibu tersebut, kebanyakan orang masih
berpandangan bahwa pembagian rombongan belajar (kelas), sering berpatokan pada
tingkat kepintaran siswa. Kelas A selalu diidentikan dengan kumpulan siswa yang
paling pintar dibandingkan dengan kelas B, C dan seterusnya. Boleh dikatakan
bahwa ini merupakan sebuah tradisi lama dan mungkin masih ada sekolah yang
menerapkan hingga saat ini. Pertanyaan fundamental yang ingin diulas dalam
artikel ini adalah masih relevankah tradisi tersebut diterapkan pada zaman ini?
Apa plus-minus mengumpulkan siswa yang pintar di satu kelas yang sama dan
dibedakan dengan siswa lainnya yang kurang berprestasi dalam belajar?
Plus-Minus
Rombel Berdasarkan Kepintaran
Dalam sejarah kebijakan pendidikan kita, sistem
pembagian kelas berdasarkan tingkat kepintaran pernah diterapkan. Konsekuensinya
antara lain, siswa yang mendapat pembagian di kelas A, memiliki kebanggaan
tersendiri karena pada umumnya orang berpandangan bahwa kelas A adalah
orang-orang pilihan, orang-orang pintar, orang-orang hebat dan lain sebagainya.
Lebih ekstrim lagi, pemerintah bahkan
pernah mengeluarkan kebijakan agar sekolah-sekolah menerapkan kelas percepatan
atau akselerasi atau kelas Siswa Cerdas Istimewa (SCI). Hal
ini ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 12. Siswa cerdas istimewa
adalah siswa dengan IQ yang tinggi (Feldhusen, 2005; Gordon
dan Bridglall, 2005; Sword, 2001). Kebijakan ini kemudian mendatangkan pro-kontra yang pada akhirnya
dihapus kembali. Maka jika masih ada sekolah yang menerapkan pembagian
rombongan belajar berdasarkan kepintaran sisiwa, sebenarnya tidak relevan lagi
karena merupkan tradisi lama yang sudah dievaluasi dan diperbaharui.
Beberapa ahli berpendapat bahwa
pengelompokan siswa (rombel) berdasarkan tingkat kepintaran, memang dibutuhkan.
Ofianto (2015) berpendapat bahwa setiap anak seharusnya mendapat
pengalaman belajar sesuai dengan kebutuhan, kondisi, kemampuan dan minat serta
kecepatannya, untuk berkembang seoptimal mungkin. Lebih lanjut, Milgram (dalam Hawadi, 2002: 20) menyatakan anak didik berbakat
intelektual sebenarnya sama dengan anak berkebutuhan khusus yang mengalami gangguan, misalnya gangguan penglihatan, buta, tuli,
kesulitan belajar, dan keterbelakangan mental, di mana mereka membutuhkan
bantuan untuk mengembangkan potensinya. Maka siswa yang pintar diperlukan
layanan pendidikan khusus yang dapat memungkinkan kebutuhan tersebut terpenuhi.
Barbara Clark (1983: 132-134) menyatakan ada beberapa alasan
pentingnya diberikan layanan kepada anak berbakat intelektual, antara lain: 1)
lingkungan belajar yang sesuai dapat mendukung berkembangnya kapasitas atau
potensi seseorang, 2) pendidikan yang memperlakukan secara sama untuk semua
siswa adalah pendidikan yang telah mengingkari adanya hak perkembangan
pendidikan yang cocok bagi anak berbakat intelektual, 3) memberikan keadilan
kepada siswa yang memiliki bakat intelektual seperti halnya
mereka yang memiliki keterbatasan, 4) diharapkan dengan fasilitas yang ada maka
potensi anak akan terkelola secara maksimal.
Jika siswa yang memiliki prestasi akademik yang baik
ditempatkan dalam satu kelas maka dapat mendorong siswa untuk memiliki daya
saing (secara positif) untuk lebih meningkatkan prestasi belajar mereka (Putri,
2016). Para guru yang mengajar di kelas akan memiliki banyak “kemudahan” dalam
mengajar. Jika siswa digabung dengan berbagai tingkat kecerdasan, maka ketika
suatu materi akan dilanjutkan, ia harus mempertimbangkan juga bahwa ada siswa
yang masih belum memahami.
Di lain pihak, pengelompokan siswa berdasarkan tingkat
kepintaran memiliki problem tersendiri. Pembagian kelas seperti ini dikhawatirkan
dapat menimbulkan dampak
negatif pada peserta didik. Keberadaan kelas unggulan (misalnya kelas A)
dapat memisahkan anak dari kehidupan alamiah yang ada di sekelilingnya sehingga
akan mengalami keterlambatan dalam bersosialisasi. Adanya persaan superior, gengsi dan menimbulkan
keminderan bagi siswa yang berada di kelas “rendah”.
Bagi saya, pembagian kelas berdasarkan kepintaran
adalah konstruksi kurikulum yang menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Praktek seperti
ini, oleh Giroux merupakan bentuk kapitalisme modern. Menurut Giroux, kapitalisme dipandang
mengorganisasi pendidikan secara massal sesuai dengan kepentingan kelas
kapitalis. Pembagian siswa secara merata berdasarkan jenis kelamin, tingkat
pendidikan, sekolah asal, dan lain-lain adalah lebih bijaksana dibandingkan
dengan mengkotak-kotakan siswa berdasarkan kriteria tersebut.
Daftar rujukan:
Kusdiyati, S. (2017). Kompetensi Sosial dengan Melihat
“Overexcitabilities” dan Pola Asuh Pada Siswa Cerdas Istimewa. Journal of
Psychological Research, Volume 3, No.1, Mei 2017, 11–22.
Ofianto.
(2015). Evaluasi Program Percepatan atau Akselerasi Belajar di SD Muhammadiyah
Sapen Yogyakarta. Jurnal Humanus, 63 Vol. XIV No.1 Th. 2015, XIV(1),
63–70.
Putri,
F. A. (2016). Hubungan Konsep Diri dengan Motivasu Berprestasi Pada Siswa
Akselerasi dan Siswa Reguler. Jurnal Psikologi Pendidikan 2016, Vol. 7, No.
1, 1 - 19, 7(1), 1–19.
Sugiarti,
R., & Suhariadi, F. (2015). Gambaran Kompetensi Sosial Siswa Cerdas
Istimewa. Psychology Forum UMM, ISBN: 978-979-796-324-8, 978–979.
No comments:
Post a Comment