Oleh: H. Dasrimin
Hakikat Ontologi
Secara etimologis, kata ontologi berasal dari kata Yunani yaitu On/ontos: yang berada, dan Logos: ilmu pengetahuan. Jadi, secara etimologis, ontologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang yang berada. Atau secara terminologi, ontologi dapat dipahami sebagai kajian tentang hakikat segala sesuatu atau realitas yang ada yang memiliki sifat universal untuk memahami adanya eksistensi (Salam, 2019)..
Ontologi seringkali diidentifikasikan dengan metafisika, yang juga disebut dengan proto-filsafat atau filsafat yang pertama. Persoalan tentang ontologi menjadi pembahasan yang utama dalam bidang filsafat, yang membahas tentang realitas. Realitas adalah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada sesuatu kebenaran (Suminar, 2016) .
Realitas dalam ontologi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan: apakah sesungguhnya hakikat realitas yang ada ini? Apakah realitas yang tampak ini sesuatu realita materi saja? Adakah sesuatu di balik realita itu? Apakah realitas ini terdiri dari satu bentuk unsur (monoteisme), dua unsur (dualisme) atau pluralisme? Maka, telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan: 1). Apakah obyek ilmu yang akan ditelaah. 2). Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan 3). Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
Bagus (2002) mengemukakan beberapa karakteristik dari ontologi, yaitu:
1) Ontologi merupakan studi tentang ciri-ciri “esensial” dari yang ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus, yang menurut bentuknya abstrak.
2) Ontologi adalah cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan kategori-kategori seperti: ada atau menjadi, aktualisasi atau potensialisasi, nyata atau penampakan, esensi atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan dan sebagainya.
3) Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat ada yang terakhir, yaitu yang satu, yang absolut, bentuk abadi, sempurna, dan keberadaan segala sesuatu yang mutlak bergantung kepada-Nya.
4) Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas apakah nyata atau semu.
Landasan Ontologi dalam Pengembangan Ilmu
Ontologi yaitu cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang hakikat ilmu pengetahuan. Adapun aspek dalam tahapan ontologi ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut:
1) Objek apa yang telah ditelaah ilmu?
2) Bagaimana wujud yang hakiki dan objek tersebut?
3) Bagaimana hubungan antara objek tadi dan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
4) Bagaimana proses yang memungkinkan digalinya pengetahuan yang berupa ilmu?
5) Bagaimana prosedurnya?
Ontologi meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan itu, yang tidak terlepas dari pandangan tentang apa dan bagaimana yang ada (being) itu. Paham idealisme atau spiritualisme, materialisme, dualisme, pluralisme dan seterusnya merupakan paham ontologis yang akan menentukan pendapat dan bahkan keyakinan kita masing-masing tentang apa dan bagaimana kebenaran dan kenyataan yang hendak dicapai oleh ilmu (Koento Wibisono, 1988 :7).
Louis O. Kattsoff (1987: 192) membagi ontologi dalam tiga bagian: ontologi bersahaja, ontologi kuantitatif dan kualitatif, serta ontologi monistik. Dikatakan ontologi bersahaja sebab segala sesuatu dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif karena yang dipertanyakan adalah mengenai tunggal atau jamaknya dan dikatakan ontologi kualitatif juga berangkat dari pertanyaan: apakah yang merupakan jenis kenyataan itu. Sedangkan ontologi monistik adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya; keanekaragaman, perbedaan dan perubahan dianggap semu belaka. Pada gilirannya ontologi monistik melahirkan monisme atau idealisme dan materialisme (Hery, 17-18).
Ada beberapa pertanyaan ontologis yang melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Misalnya pertanyaan: Apakah yang ada itu? (what is being?), bagaimanakah yang ada itu (how is being?) dan di manakah yang ada itu? (where is being?).
a. Apakah yang ada itu (what is being?)
Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir empat aliran filsafat, yaitu: monisme, dualisme, idealisme dan agnotisme.
1. Aliran monisme. Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu. Filsuf yang termasuk dalam aliran ini adalah Plato, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya (lihat Kattsoff, 1997:17).
2. Aliran dualisme. Aliran ini menggabungkan antara idealisme dan materialisme dengan mengatakan, bahwa alam wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai sumber, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani. Contoh filsuf dari aliran ini adalah Descartes (Harun Hadiwijono, 1991:49).
3. Aliran pluralisme. Menurut aliran ini, manusia adalah makhluk yang tidak hanya terdiri dari jasmani dan rohani, tetapi juga tersusun dari api, tanah dan udara yang merupakan unsur substansial dari segala wujud.
4. Aliran agnotisisme. Aliran ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat materi maupun hakikat rohani. Mereka juga menolak suatu kenyataan yang mutlak yang bersifat transenden (Hasbullah Bakri, 1991:60).
b. Bagaimanakah yang ada itu? (how is being ?)
Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi atau berubah-ubah? Dalam hal ini Zeno (490-430 SM) menyatakan bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka (Kattsoff, 1987:246). Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel, yang menyatakan bahwa alam ini dinamis, terus bergerak dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif (Iqbal, 1981:35).
c. Di manakah yang ada itu? (where is being ?)
Aliran idealisme berpendapat bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adikodrati, universal, tetap abadi dan abstrak. Sementara aliran materialisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-ubah dan riil. Dalam hal ini Kattsoff memberikan banyak term dasar mengenai bidang ontologi, misalnya: yang ada (being), kenyataan (reality), eksistensi (existence) perubahan (change), tunggal (one), dan jamak (many), (Kattsoff, 1987: 194).
Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia. Dengan kata lain, ilmu hanya merupakan salah satu pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan dalam batas empiris saja (Ekawati, 2013). Ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan, tentang baik dan buruk, sumber-sumber moral, tentang indah dan jelek, serta terkait estetik. Ilmu membahas tentang yang ada sedangkan ontologi membahas masalah ada dan tiada.
Ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya (Bahrum, 2013). Dengan berpikir ontologi, manusia akan memahami tentang eksistensi suatu ilmu. Menurut Heidegger, eksistensi membicarakan masalah ada, misalnya manusia ada. Manusia ada ketika dia sadar diri, pada saat memahami tentang “aku”. Ada semacam ini menjadi wilayah garapan ontologi keilmuan.
Ditinjau dari segi ontologi, ilmu membatasi diri pada kajian yang bersifat empiris. Objek penelaah ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal-hal yang sudah berada di luar jangkauan manusia tidak dibahas oleh ilmu karena tidak dapat dibuktikan secara metodologis dan empiris, karena ilmu itu mempunyai ciri tersendiri yakni berorientasi pada dunia empiris (Bahrum, 2013).
Terdapat dua cabang ilmu yaitu filsafat alam yang kemudian menjadi ilmu alam (the natural sciences); dan filsafat moral yang kemudian menjadi ilmu sosial. Dalam kajiannya, ilmu alam terbagi menjadi dua yaitu yang ilmu alam (the physical science) dan ilmu hayat (the biological science). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta, yang kemudian bercabang kembali menjadi fisika, kimia, astronomi dan ilmu bumi. Tiap-tiap cabang ini terus berkembang menjadi ranting-ranting yang baru. Sedangkan ilmu sosial berkembang menjadi ilmu sosial antropologi, psikologi, ekonomi, sosiologi dan politik. Cabang ilmu ini pun terus mengalami perkembangan.
DAFTAR RUJUKAN
Bahrum, B. 2013. Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, Jurnal Sulesana: Wawasan Keislaman, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013. Dari: http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/sls/article/view/1276
Dasuki, Mohamad Ramdon. 2019. Tiga Aspek Utama dalam Kajian Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia Sasindo Unpam 2019. Dari: http://openjournal.unpam.ac.id/index.php/Proceedings/article/view/4056
Ekawati, Dian. 2013. Reorientasi Ontologi, Epistemology dan Aksiologi dalam Perkembangan Sains. Jurnal Tarbawiyah, Volume 10 Nomor 2 Edisi Juli-Desember 2013. Dari: http://jurnaltarbiyah.uinsu.ac.id/index.php/tarbiyah/article/download/114/106
Utami, Dyah A. Putri. 2020. Tinjauan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Kebijakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di SMP Negeri 9 Yogyakarta. Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 3 No 2 Tahun 2020. Dari: https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JFI/article/view/22695
No comments:
Post a Comment