PENDIDIKAN RELIGIOSITAS: SEBUAH DIALOG NILAI KEHIDUPAN (Catatan Kecil Peringatan Hari Pendidikan Nasional) - Dasriminocarm

Dasriminocarm

BLOG INI BERISI TULISAN YANG BERKAITAN DENGAN TEMA PENDIDIKAN. TULISAN DISAJIKAN DALAM BENTUK ARTIKEL, MAKALAH, REVIEW, RESUME DAN SEJENISNYA

Breaking

SELAMAT DATANG DI DASRIMINOCARM CHANEL

Selamat Datang Di Dasriminocarm Chanel

5 Postingan Paling Populer Dibaca

Ketik kata kunci di sini

Sunday, May 1, 2016

PENDIDIKAN RELIGIOSITAS: SEBUAH DIALOG NILAI KEHIDUPAN (Catatan Kecil Peringatan Hari Pendidikan Nasional)

Beberapa saat setelah Proklamasi kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, langkah pertama pemerintahan RI dalam bidang pendidikan adalah dengan mengeluarkan Rencana Usaha Pendidikan dan Pengajaran (RUPP). Dalam RUPP tersebut, Pasal 31, 32 dan 33 UUD 1945 dijadikan sebagai pedoman pertama dalam merumuskan kebijakan-kebijakan pendidikan. Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), tertanggal 29 Desember 1945, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan membentuk Panitia Penyelidikan Pendidikan yang salah satu produksInya adalah sistem pendidikan dan kurikulum Sekolah Menengah Pertama. Selain usulan di atas, BPKNIP juga mengeluarkan 10 usulan, di antaranya adalah, pengajaran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur seksama, hingga cukup mendapat perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipeluknya (Redja Mudyahardjo, 2002).

Namun, masuknya pendidikan agama dalam kurikulum pendidikan di Indonesia telah menuai banyak persoalan sejak awal kemerdekaan hingga sekarang. Salah satu persoalan yang selalu menjadi bahan perbincangan pada perkembangan dewasa ini yakni tentang keputusan pemerintah yang tertuang dalam Undang-undang No 20, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam Pasal 13, dijelaskan bahwa setiap peserta didik berhak untuk memperoleh pendidikan agama dan guru agama sesuai dengan keyakinan peserta didik bersangkutan (Adian Husaini, M.A., 2012). Walaupun sudah dikeluarkannya Undang-undang tersebut, tetapi hingga kini kita masih menemukan beberapa sekolah yang menerapkan model pendidikan agama yang berbeda dengan peraturan tersebut.

Tiga Model Pendidikan Agama Di Sekolah

Model Pertama: Undang-undang No 20, Tahun 2003, menegaskan bahwa setiap peserta didik berhak untuk memperoleh pendidikan agama dan guru agama sesuai dengan keyakinan peserta didik bersangkutan. Model inilah yang banyak ditemukan di sekolah-sekolah, khususnya di sekolah-sekolah negeri. Praktis pelaksanaannya bisa bermacam-macam, antara lain dengan pemisahan kelas berdasarkan agama, atau juga meminta siswa mencari sendiri guru dan tempat untuk mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan keyakinan yang dianut. Hal ini dianggap merupakan hal yang wajar karena seorang siswa mendapat pendidikan agama yang sesuai dengan keyakinannya. Namun di lain pihak, dengan adanya pemisahan tersebut, sebanarnya merupakan suatu pembiasaan yang secara tidak langsung telah menanamkan kesadaran bahwa agama adalah sesuatu yang memisahkan mereka, bahkan bisa jadi memisahkan manusia.

Model Kedua

Pada umumnya di sekolah-sekolah negeri dan sekolah swasta nasional, pendidikan agama dilakukan sebagaimana yang telah diatur oleh pemerintah, dengan kurikulum maupun pengelolaan kelas yang masing-masing siswa dipisah sesuai dengan agama yang dianut. Tetapi hal ini berbeda dengan sekolah-sekolah swasta dengan label agama tertentu. Pendidikan agama menjadi salah satu ciri khas yang membedakannya dari sekolah lain dan dianggap sebagai urusan rumah tangga suatu yayasan dengan ciri keagamaan tertentu. Misalnya, jika sebuah sekolah bernaung di bawah yayasan Katolik, maka semua siswa yang mengenyam pendidikan di sekolah tersebut wajib menerima pelajaran Agama Katolik, sekalipun siswa tersebut non-Katolik.

Hal menarik dari pengalaman penulis dalam mengajar di beberapa sekolah yang menerapkan sistem seperti ini, ditemukan bahwa jika kita melihat dari hasil perolehan nilai pelajaran agama, ada beberapa siswa yang beragama lain justru memiliki nilai agama lebih tinggih jika dibandingkan dengan siswa yang mendapat pelajaran tentang agamanya sendiri. Kenyataan ini semakin memperjelas bahwa dalam pengembangan pendidikan di negara kita, serangkaian pelajaran yang dirumuskan dalam bentuk kurikulum, seringkali hanya menyentuh salah satu aspek yaitu aspek kognisi atau intelektualnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai agama yang diperoleh siswa(tinggih atau rendah)tidak menjadi suatu patokan terhadap kualitas iman seseorang. Pendidikan agama di sekolah akhirnya bukan berujung pada kedewasaan, ketaqwaan, dan kemampuan bertangung jawab, melainkan sekedar agar lulus ujian dan mendapatkan ijazah.

Model Ketiga

Menanggapi masalah kemajemukan agama serta berbagai persoalan keagamaan dan implikasi dalam pendidikan agama di sekolah, maka pada tahun 1994 Yayasan Kanisius yang mengelola sekolah-sekolah, mengusulkan pada Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Semarang untuk membuat kurikulum bagi model pendidikan agama yang bisa diberikan kepada para siswa yang menganut berbagai agama. Berbeda dengan model pendidikan agama yang lazim dilaksanakan di sekolah-sekolah umum yang sarat dengan pengetahuan dan hafalan serta praktek peribadatan, pendidikan model ini menekankan aspek penanaman kesadaran melalui saling tukar cerita tentang pengalaman penghayatan akan iman masing-masing siswa, sebagai cara menggali kedalaman penghayatan dalam keragaman. Gagasan ini sudah mulai diterapkan dengan istilah pendidikan religiositas, yaitu pendidikan yang mengarahkan siswa pada ketakwaan.

Pendidikan Religiositas merupakan upaya untuk saling berdialog dan memperkaya pengalaman sesuai dengan tradisi religi atau agamanya masing-masing. Dialog pun tidak bersifat apologi melainkan menjadi dialog yang saling memperteguh dan memperkaya untuk memasuki ruang universalitas pandangan. Kontruksi belajarnya mengangkat keberagaman latar belakang religi subyek didik untuk dijadikan sebuah dialog nilai kehidupan. Dari dialog nilai tersebut, latar belakang religi dapat saling memperkaya dan meneguhkan, sehingga diharapkan dapat terjadi transformasi nilai bagi subyek didik.

Kesimpulan:

Bagi penulis, model Pendidikan Religiositas merupakan suatu pendidikan yang paling ideal karena pendidikan religiositas mengajak subyek didik sampai kepada sikap batin yang mendalam mengenai Tuhan dan keterkaitannya tentang kehidupan. Pendidikan Religiositas menjadi media bagi pengembangan pendidikan nilai yang lebih progresif. Pendampingan subyek didik tidak hanya terbatas kepada aspek pengetahuan, tetapi sampai kepada upaya untuk mengembangkan nilai-nilai etis dan moral dalam kehidupan sehari-hari.

Saran:

Pertama, pihak sekolah atau yayasan perlu mengadakan pembaharuan dalam penerapan pendidikan agama di sekolah. Sebuah tawaran model pendidikan religiositas di beberapa sekolah dengan menekankan aspek penalaran kesadaran melalui sharing iman, menurut saya sangat cocok untuk diterapkan di lembaga pedidikan.

Kedua, pemerintah hendaknya menjalankan fungsi kontrolnya secara baik dalam mengawasi pelaksanaan pendidikan agama di setiap sekolah. Walaupun pendidikan agama tidak termasuk dalam Ujian Nasional, namun pengawasan pemerintah sangat diperlukan untuk menciptakan suatu sistem pendidikan yang bermutu di tengah masyarakat yang majemuk ini.

Ketiga, sangat penting untuk dilakukan pembaharuan pendidikan agama, khususnya dalam segi materi pembelajaran, metode belajar dan pemberdayaan guru, agar lebih mampu menjadi pendidik yang kreatif memfasilitasi perkembangan kemampuan siswa dalam mengekpresikan iman dan kepercayaan untuk menjawab tantangan hidup para siswa. Silabus dan Rencana Proses Pembelajaran (RPP), yang dibuat oleh guru tidak hanya menekankan aspek intelektual, pada teori-teori, tetapi juga turut memperhatikan aspek pengembangan sikap yang berguna bagi siswa dalam penerapannya di tengah masyarakat.

Selamat memperingati HARDIKNAS ! *)dasrimino

No comments:

Post a Comment